Sudah lama aku mencari-cari sepucuk surat yang ingin ku baca isinya lagi. Surat itu tak tampak begitu memukau. Bahkan ia terlihat lusuh karena terlipat-lipat. Tak pula tersimpan dalam amplop yang bagus. Bahkan tulisannya pun mengharuskanku membacanya lamat-lamat dengan penuh kekhusyukkan mengeja satu persatu huruf dan kata hingga dapat terbaca sempurna. Mungkin si penulis ingin menjadi seorang dokter. Hingga ia berlatih memperburuk tulisan sedari sekarang. Hehe...

Aku mencari sepucuk surat lusuh itu. Seingatku, aku menyimpannya bersama setumbuk tulisan-tulisan anak-anak yang lain sewaktu aku menjadi guru bantu setahun yang lalu. Yah, lagi-lagi, kalimat yang sedang kau baca ini berkisah tentang aku dan perjalanan semasa KKN dulu. Ku harap kau tak akan bosan mengikuti setiap kata yang kukisahkan ini. Tapi maaf, aku tak sepandai pujangga menyulam kata hingga menjadi cerita yang sempurna. Aku menulisnya, hanya karena aku ingin. Bukan karena aku takut lupa. Tapi karena aku ingin mengingatnya lebih lama. Sedikit lebih lama lagi.

Awalnya, aku ingin menulis ulang isi surat itu. Surat yang bisa jadi menurut orang lain itu tak pantas untuk dikenang, bahkan dibanggakan. Tapi begitulah, surat itu terkesan istimewa bagiku. Yah, istimewa itu tak perlu menunggu anggapan orang lain menilai hal itu istimewa. Rasakan saja, jika itu istimewa. Itulah istimewa bagimu. Sayangnya, sepucuk surat itu belum jua ketemu. Surat dari gadis SMP yang pernah menjadi muridku selama beberapa minggu di Pulau Misool, Papua Barat. Tepatnya di Kampung Fafanlap.

Namanya Mila. Entah siapa nama lengkapnya, aku tak hafal. Satu hal yang sangat kuingat tentangnya ialah surat darinya. Ia pernah memberiku sepucuk surat yang ia tempelkan ditanganku saat kelas telah usai dan anak-anak bergegas pulang. Seperti kulturnya, setiap anak berpamitan pada gurunya dan mencium tangan gurunya. Ternyata siang itu, Mila memberi ‘salam tempel’ padaku. Suratnya ia lipat sedemikian rupa dan ia tempelkan di tanganku saat bersalaman. Ah, anak-anak selalu punya cara sendiri untuk menyatakan rasa kasihnya. Ada anak yang lain juga yang sangat berkesan bagiku. Kusebut ia, Damin si Bocah di Balik Jendela. Sebagian ceritanya telah ku tulis beberapa waktu yang lalu. (simak di sini)

Aku tak menunggu hingga sampai di pondokan untuk membaca surat dari Mila. Aku yang sangat penasaran segera saja membuka dan membaca suratnya. Seperti yang kubilang tadi, membacanya butuh kekhusyukan. Meski tulisannya tak tertulis dengan huruf yang sempurna, namun setelah membacanya ku tahu ia menulisnya dengan segenap hati yang sempurna. Suratnya berisi banyak pantun. Benar saja. Karena saat perkenalan di kelas, aku mengatakan bahwa aku sangat menyukai pantun. Ku dengar anak-anak di kampung itu sangat pandai membuat pantun. Di halaman sebaliknya, aku membaca dengan ‘khidmat’, karena hurufnya sulit terbaca. Hehe... Tapi di situlah kadang saya merasa terkesan. 

kaka Miya, doakan saya, kaka. Agar saya bisa menjadi kebanggaan orang tua dan bermanfaat untuk keluarga. Doakan saya kaka, agar saya bisa berjilbab seperti kaka Miya, menjadi seperti kaka Miya

Isi suratnya memaksa mataku sedikit terbelalak. “Ha? Seriusan?” batinku. Aku hanya terkejut saja. Masa’ iya? Aku tak hafal isi selanjutnya. Sayangnya hanya itu yang bisa ku ingat. Namun ingatan yang tak banyak itu selalu membuatku rindu padanya. Kadang aku ingin menyangkal saat aku kembali rindu. Namun, dikatakan atau tidak, tetap saja rindu namanya.

Mila yang pemalu dan manis. Jujur, awalnya aku tak pede maksimal saat menyapa mereka di dalam kelas untuk pertama kalinya. Karena, aku khawatir penampilanku membuatnya asing. Aku yang tampil begini seperti aku pada biasanya, aku takut membuat mereka kurang nyaman bergaul denganku. Sempat aku menjadi penakut seperti itu. Namun, ternyata tak begitu kenyataannya. Benar memang, ketakutan adalah pikiran yang belum pasti terjadi. atau mungkin memang benar pula, ketakutan tak ubahnya keberanian yang kita belum siap dengan resikonya. Entah apa itu ketakutan, yang jelas Mila dan anak-anak sebayanya telah berhasil menghanyutkan ketakutan pada diriku waktu itu dengan ombak kehangatan dan penerimaan yang mereka ciptakan.

Dan di situlah aku terkesan. Mereka begitu mudah menyambut keceriaan dan kehangatan yang kuberi dan membalas keceriaan dan kehangatan yang lebih lagi. Aku hanya tak menyangka.

Kenapa kemudian surat itu begitu terkesan? Seharusnya aku berterima kasih pada Mila. Lantaran suratnya, aku menjadi lebih siap jika bertemu dengan mereka. Sekantong ceria yang telah kusiapkan dari Jogja agaknya akan sia-sia jika aku masih ragu dan tak siap bergerumul dengan mereka. Mila bilang, ia ingin berjilbab seperti ku berjilbab. Di saat di sini hampir-hampir aku diejek ‘mbak-mbak yang seperti emak-emak’ hanya karena pakai jilbab besar dan gamis. Ternyata di sana, di pelosok sana, ada anak yang baru pertama kali ku kenal, ia ingin memakai seperti apa yang kupakai. Apakah aku saat itu langsung berkoar-koar tentang kewajiban jilbab bagi perempuan muslimah? Tidak. Aku tak menyinggung-nyinggung tentang itu untuk pertama kalinya. Jelas, setidaknya aku tahu tempat dan tahu waktu. Kapan harus mengatakan apa dan bagaimana. Apakah aku langsung menunjukkan tutorial jilbab waktu itu? Ini juga tidak. Di sana aku dan kawan-kawan satu tim sebagai tamu. Tamu haruslah tahu kondisi terlebih dahulu.

Lalu apa yang ku lakukan? Entahlah. Aku hanya menyapa mereka seperti aku menyapa diriku di depan cermin setiap paginya. Aku hanya mempersembahkan sekantong keceriaan yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dan aku berikan seikat kehangatan yang memang ini kuniatkan untuk mereka. Saat pertama kali menyapanya, aku membatin, “inikah mereka yang telah ada di dalam doa-doaku selama ini? Inikah wajah-wajah yang sebelumnya telah bertemu dalam doa? Mereka kah doa-doa ku yang terkabul?”

Tentu selama berjuang agar bisa sampai di Pulau itu, aku telah berdoa agar Allah menghendaki aku bertemu dengan mereka dan menyapanya. Aku tak tahu nama-nama mereka. Aku tak tahu wajah-wajah mereka sebelumnya. Yang ku tahu, mereka telah kusebut dalam untaian doa-doaku sebelumnya. Begitulah Allah Maha Pemurah yang mengabulkan doa-doa yang menganak tangga dan melangit. Dari pengalaman itu, aku tersadar. Bahwa memang, akhlak adalah salah satu kuncinya. Berbuat baik dengan sebaik-baik kelakuan akan membuka seluas-luas penerimaan.

Setelah hari itu, aku semakin akrab saja dengan Mila. Tak hanya dengannya, dengan anak-anak sekampung pun sangat begitu dekat dan akrab. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang kesederhanaan, tentang kebahagiaan yang tak mahal. Bahwa hidup itu sederhana. Belajar dengan siapa saja, dan berbagi apa yang kita punya.

Mila melepas tangis saat perpisahan dengan tim KKN UGM

Tentang Mila, ia sangat ingin sekali menjadi polisi wanita alias polwan kelak. Namun keluarganya menginginkan Mila menjadi perawat/bidan saja. Namun aku berharap, semoga kelak engkau menemukan pilihan yang seharusnya kau jalani, Mila. Entah menjadi apapun, semoga kau bisa menjalankan tugasmu sebagai mana seharusnya manusia di bumi. Tak begitu muluk harapku. Semoga kau bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Tentu manfaat yang mengular panjang. Tak hanya berujung di jalan dunia, tapi manfaatnya sampai menguntai hingga ke syurga kelak. Karena kita adalah manusia yang percaya hidup tak sekedar dimana kita dilahirkan saja. Berpisah dengannya pun berurai air mata. Ia tak sanggup lagi menahan sedih yang memuncak dalam jiwa. Lalu aku? Agaknya, aku bisa sedikit menahan ketidak sanggupan untuk berpisah waktu itu. Menangis? Tentu. hanya satu-dua tetes yang tak bisa kutahan hingga akhirnya berlinang di pipi. Sekarang saat semua itu masih terkenang, saat aku mencoba mengingat satu-dua kata yang pernah membuat kita bahagia.. Saat aku menutup mata, rasanya seperti aku berdiri di dermaga dengan angin senja yang menerpa. Aku rindu.

Mila, semoga suatu saat Allah masih mengijinkan kita bersua.


@mkusmias yang masih memupuk rindunya