Satu hari yang lalu, di siang hari yang panasnya cukup menggerahkan itu, sa pu adek (adik saya yang) perempuan dan sepupu sedang gembira merayakan lotisan di belakang rumah. Tempat itu memang cukup yoi sekali untuk sekedar ngegosip bagi para ibu-ibu, ngisis di siang yang panas, menyendiri untuk menemukan kontemplasi, sampai forga (forum keluarga) dengan agenda lotisan bareng-bareng. Acara bareng yang saya sebutkan terakhir ini, membikin saya selalu tertawa jika ingat cerita yang terjadi pada kemarin hari.

Seperti yang saya sebutkan di awal, adek perempuan (sebut saja Mahoni, bukan nama sebenarnya, 22 tahun, dan masih single loh. #Trus njuk ngopo), satu sepupu sebut saja Dodik, dan yang satu lagi sebut saja Yoga masih berumur 3 tahun. Mereka sedang bahagia berlotis ria di belakang rumah yang teduh pas siang hari itu.

Yah, namanya orang jawa, tak jarang selalu mempersilakan orang lain untuk memulai melahap dan menikmati makanan yang terhidang. Di tengah-tengah menyantap lotis yang sesuai namanya yang pasti rasanya pedas itu, Yoga cuma sekedar ikut-ikutan lotisan. Dasar Dodik yang seperti kebanyakan anak muda usil, selalu bilang pada Yoga, Ayo, Yog. Ndang, jipuk meneh (ayo, Yog. Cepet, ambil lagi),” Dodik membungkus usil berkedok penyemangatan. Kalau Yoga sudah selesai pada lahapan pertama, Dodik selalu meng-ayo-ayo-i Yoga untuk terus melahap buah dan sambel lotisnya itu.

Yah, namanya juga Yoga yang masih anak-anak umur 3 tahun, dan dasarnya anak’e bapak’e yang doyan pedes, selalu manut saja apa yang disuruh Dodik. Sampai pada beberapa saat, Mahoni dan Dodik dibuat tegang sekaligus ngguyokne dengan apa yang terjadi pada Yoga. Yoga tiba-tiba mandeg makan lotisnya. Duduknya masih seperti semula, masih saja bersila. Tangannya yang awalnya memegang mentimun berbalur sambel, sudah berganti memegang perutnya. Kepalanya miring sebelah seperti orang kecapekan dengan mata tinggal 5 watt. Yoga masih diam saja, ora ono banek’e, tidak bersuara. Dua orang di sampingnya tetiba jadi agak panik.

Yog, kenek opo koe. Yog.. Yog.. Heh, kenek opo koe?” Dodik menggoyang-goyang tubuh Yoga yang pancen pawak’ane cilik itu. Mata Yoga sudah semakin sipit dengan tetap tanpa ekspresi dan tanpa suara blas. Demi melihat pemandangan itu, Mahoni malah tertawa terpingkal-pingkal. Ekspresi Yoga yang tanpa ekspresi itu lho membikin Mahoni malah terasa seperti disuguhi lawakan.

Yu, ketok e kepedesen iki. Golekno ngombe gek ndang, Yu! (Mbak, kayaknya kepedesan ini. Cepet cari minum cepet, mbak!).” Spontan donk Dodik curiga kalau Yoga tak berkutik karena kepedesan. Iya lah, penyebab paling dekat karena kepedesan, ha wong mereka lagi lotisan. Yen njerit-njerit kui lagi numpak roller coaster.

Si mbak Yu Mahoni langsung sigap lari ke dalam rumah, membuka pintu kulkas, menyabet sebotol air dingin, hap lalu ditangkap segera lari ke tempat nglotis tadi. Tak perlu lama-lama segera ditegak air mineral dalam botol tadi oleh Yoga. Dan tak perlu lama-lama juga, wajah Yoga semakin lama nampak semakin terlihat ekspresinya.

“Ahhhhhhhh…..” terdengar suara Yoga dengan penuh kelegaan dan polos setelah menegak air mineral. Wajahnya sudah terlihat segar kembali. Oalah le.. le… anak’e bapak ibune. Ha mbok ngobrol donk kalau kepedesan.

Demi melihat suara lega dan wajah Yoga yang terlihat kembali “bernyawa”, Mahoni dan Dodik kembali tertawa terpingkal-pingkal. Pada saat kejadian ini berlangsung, sebenarnya saya berada di depan rumah menggendong Arya, Yoga pu adek (adiknya Yoga, yang baru berusia 10 bulan. Yah namanya (t)ante-(t)ante, kalau selo sithik di rumah tugasnya ngemong ponakan-ponakan). Suara pingkalan mereka terdengar oleh saya yang berada di depan rumah. Tapi sedikit pun saya tidak tertarik untuk menuju ke belakang demi melihat apa yang terjadi. Mereka mah kalau sudah ketemu begitu, jadi saya gak heran kalau terdengarnya ribut.

Saya baru berjalan ke belakang saat sudah ngrasakne betapa pegelnya nggendong Arya yang ginuk-ginuk itu. Pas sudah mendekati mereka, Yoga masih melanjutkan meneguk air mineral sebagai ikhtiarnya untuk menghilangkan kepedesan dan mengumpulkan nyawanya agar kembali full tank. Mahoni dan Dodik masih saja tertawa dengan yang baru saja terjadi. Sebagaimana orang yang terheran-heran, saya bertanya apa yang terjadi. Setelah mendengarkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya itu, saya tertular dan tak bisa menahan tawa. Oalah le…le… pedes kok diempet (ditahan). Ngempet kok roso pedes. ha mbok yo ngempet biar tidak mentahdzir-tahdzirkan saudara sendiri saja. #Eh.

Padahal, biasanya, anak kecil itu justru paling tidak bisa menyembunyikan ekspresi hlo ya. Tapi cen kejadian bocah siji iki lunyu eh lucu tenan.

Dari rada panjangnya cerita ini, kok saya jadi menemukan kontemplasi. Urip iku, selain kudu urup, selayaknya memang harus diekspresikan. Jangan ditahan-tahan, nanti jadi gak tahan. Hidup itu memang harus lempeng pada dogma-dogma yang sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing itu, yang tidak bisa diganggu-gugat. Tapi, selain dari itu, boleh lho diekspresikan. Boleh lho bilang “huh hah” kalau memang kepedesan. Normal kok kalau kepedesan setelah bilang “huh hah” trus tratapan nyari air. Kan jadi lunyu eh lucu seperti Yoga yang diam saja sampe kayak kliyengan hampir semaot eh semaput gegara nahan pedes. Mungkin anak berumur 3 tahun itu takut bilang kepedesan, lalu takut jadi merepotkan mereka berdua yang lagi bahagia menyantap lotisan. Atau jangan-jangan, sebenarnya sih takut karena kalau mak tratap pergi ke dalam rumah mencari air mineral, dan kembali ke belakang rumah dengan lotis yang sudah dihabiskan dua anak muda itu. Duh dek, yang mana alasanmu? Aku gak mudeng.

Kembali ke kontemplasi. Hidup itu memang selayaknya disuarakan, bukan dipendam, apalagi didiamkan. Dan, lagi-lagi saya kembali belajar, bahwa untuk bisa “bersuara” dimulai dari memupuk keberanian. Mau bisa menyuarakan sesuatu tapi tidak pernah mencoba untuk berani? Itu seperti menunggu Anggun jadi duta shampoo lain. Tidak pernah terjadi.

Saya ini bukan orang pemberani kok. Hanya saja, insyaa Allah saya ini mau belajar, termasuk mau belajar dan memupuk berani. Agar pada saat-saat yang tepat, semoga urat nadi takut itu putus, lalu muncullah yang dinamakan berani. Tentu berani yang saya maksud di sini berani dalam hal-hal yang baik, sist. Berani untuk mengambil peran dalam kebermanfaatan juga ya, bro. Saya ini masih punya nyali yang ciut, kadang penakut. Tapi saya serasa mendapat sebuah wangsit dari kejadian jenaka Yoga de ka ka ini.

Tentang “berani”, nampaknya memang menjadi sesuatu yang penting dalam hidup seorang manusia. Kalau tidak, tidak mungkin Hamka menuliskan cukup panjang bahasan tentang berani pada Bab ke-6 dalam buku Falsafah Hidup-nya. Menurut Hamka, berani itu berkaitan dengan fiqh prioritas, yakni memilih satu jalan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang lebih besar. Ada banyak hal yang disampaikan Hamka tentang berani. Mudah-mudahan saya berkesempatan menyambung di bagian kedua dari judul tulisan yang ala-ala ini. hehe

Tapi, biar tulisan ini rada ngehek, saya mau melanjutkan barang sedikit. Masih saya kutip dari tulisan Hamka,
“Apakah harganya segulung diploma, kalau dalam hati yang empunya itu tidak ada keberanian?
Kalau pengecut, walaupun banyak ilmu, besar gulungan diploma, masyarakat tidaklah akan mendapat untung daripadanya. Jangankan masyarakat, bahkan dirinya sendiri pun tidak akan memperoleh untung dari diploma itu sendiri. Orang pengecut, pekerjaannya selalu sia-sia. Duduknya di bawah. Dia tak berani ke atas. Dia hanya jadi pengikut, tidak berani diikuti. Atau menggerutu di belakang.”

Pertanyaan retoris Hamka di awal penggalan kalimat di atas sungguh-sungguh mak jleb rasanya. Iya, benar. Apa gunanya kita ini capek-capek yang kelihatannya menimba ilmu, tapi tidak punya apa yang disebut berani. Kalimat terakhir dari kutipan di atas juga rasane tidak kalah mak jleb. Sebab, orang yang tak berani ke muka itu disebut pengecut. Dan pengecut itu hanya memiliki satu keberanian, yakni menggerutu di belakang.

Jadi, kalau kita ini masih suka diam dan mendiamkan, tak mau bicara meski untuk hal-hal yang baik, ditambah lagi menahan-nahan padahal sejatinya tidak perlu ditahan-tahan, apa donk bedanya kita dengan anak umur 3 tahun? Itu sih masih mending kalau tidak suka menggerutu di belakang, lha kalau masih suka?

Always,
@mkusmias yang masih masih dan masih belajar untuk berani

Ref: Hamka, Prof. Dr. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. hal: 263.