Gambar: numuda.co.id

Ini sebenarnya sudah lama saya baca.  Tapi betapa iuh-nya saya ini, selalu beralibi sama diri sendiri dan meneruskan bermalas-malas ria, akhirnya tidak jadi nuli-nulis juga.

Halaman ke 7 dari Tafsir Al-Azhar Jilid 1, menjadi semacam belati yang menusuk-nusuk kerasnya hati. Seperti biasa, dengan bahasanya yang nyaman dibaca, Hamka menuliskan ulasannya tentang Al-Qur’an sebagai semacam pengantar Tafsir Al-Azhar yang jumlah jilidnya ada 9 itu.

“Arti Al-Qur’an menurut bahasa (lughoh) ialah barang yang dibaca. Al-Qur’an itu menurut undang-undang bahasa adalah kalimat mashdar, yaitu pokok kata, yang berarti bacaan, tetapi diartikan lebih dekat pada sesuatu yang dikerjakan (isim maf’ul), menjadi artinya yang dibaca.”

Kebanyakan kita, termasuk saya, sudah terlalu biasa mendengar kata itu (Al-Qur’an) disebut beserta penjelasan maknanya, bukan? Tapi kali ini kok ya rasanya sedikit beda, saat membaca ulasan lanjutan beliau yang menyederhanakan penjelasan di atas itu:

“Baik dari asal ambilan bahasa maupun setelah dia diistilahkan, keduanya itu telah tergabung menjadi makna yang satu, yaitu bahwasanya Al-Qur’an memang dibaca.”

Hakjleb banget pas baca kalimat di atas itu, terutama 3 kata terakhir. Al-Qur’an itu ya memang dibaca. Apa lagi?! Jika sudah beli Kitab Al-Qur’an, selanjutnya ya dibaca! Mau ngapain lagi?! Membelinya hanya untuk dipajang, jimat di dalam rumah, atau hiasan biar mendapatkan citra keashalihan? Atau malah untuk sekedar teman kotak uang biar uangnya aman tidak dicuri tuyul? Bukan, udu kui yang dinamakan Al-Qur’an, cinta.

Ini semacam autokritik untuk diri sendiri. Meski sudah menjadi se-“akhwat” kayak apa juga, kalau punya Al-Qur’an itu ya mestinya dibaca. Lebih lagi, mau se-“aktivis” dan sesibuk apa juga, membaca Al-Qu’an itu semacam “kudu”. Rajin ikut taklim pada 10 ustadz per minggu tidak akan mengubah makna Al-Qur’an yang artinya sesuatu yang dibaca itu. Baju kita yang se-syar’i dan terlihat se-sholih bagaimana pun, bukan menjadi penggugur tugas kita membaca Kalam Allah itu, Hayati.

Penjelasan Hamka bab Qur'an ini kok ya jleb banget memang. Lebih lagi di zaman now yang rasa-rasanya gadget lebih sering kita elus-elus ketimbang lembaran Qur'an. Kita ini sebenarnya bisa tanya pada cermin (diri sendiri), lebih sering pegang-pegang mana hayoo, hp atau qur'an? Lebih sering baca mana hayoo, broadcast yang gak jelas -yang kadang malah cuma hoax- atau ayat-ayat Qur'an? #ngomongsamacermin #ehehe

Saya sering malu sendiri saat mendapati teman-teman yang konon baru “hijrah” mendalami Islam. Mereka ini saat membaca ayat suci masih terbata-bata, pakaiannya pun masih terlihat biasa –tak serapat seperti para ukhti yang mengenakan hijab syar’i-, tapi mereka tak pernah malu saat suaranya yang terbata-bata dan terputus-putus itu membaca huruf demi huruf setiap ayat yang dilanjut ayat itu. Rasanya saya bisa membaca semangat kawan-kawan ini sejelas tulisan, “mulai sekarang aku mau merutinkan baca Qur’an. Dan belajar kalau belum bisa”.

Para ukhti dan akhi yang bukan orang baru di komunitas ngaji -yang lebih sering malasnya ketimbang rajin baca Qur'an kayak saya-, tentu mestinya ikutan malu bareng saya. #hehe.

Betapa kita ini memang lebih banyak lupa daripada ingat, lebih sering malas daripada rajin. Kalau sudah begini, kita tengok saja ke dalam diri kita sendiri-sendiri. Hari ini, sudah baca Qur’an belum? Berapa lembar? Ayat mana yang sudah diamalkan?

Setelah membaca dengan tartil, tak kalah penting adalah "membaca" ayat-ayat Qur'an. "Membaca" dengan pemaknaan dan pikiran. "Membaca" yang semacam ini kita sudah dimudahkan dengan adanya kitab-kitab ataupun kajian tafsir.

Inilah gunanya daya pikir untuk manusia. Lha katanya manusia itu makhluk spesial yang punya nalar? Lha kalau nalarnya nggak dipakai buat "membaca" Qur'an, apa bedanya manusia dengan tumbuhan yang hanya bisa melambai-lambai daunnya saat diterpa angin itu? Tidak beda dengan ayam, burung, dan jenis hewan lain kalau manusia enggak "membaca" isi Qur'an? Sungguh, tidak ada bedanya dengan wit kates depan rumahku. #huehuehue

Setelah membaca dan "membaca", ada tugas lain lagi yang juga tak boleh ditinggalkan. Yap, diamalkan dengan segenap pemaknaan. Sebab jangan sampai kita ini termasuk seperti yang diperingatkan Rasulullah,

"... dan membaca Al Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka..." (H.R Bukhari)

Kalau kata Ibnu Hajar Al Asqalani, maksud tidak melewati kerongkongan adalah, "bacaan yang tidak diterima di sisi Allah." Lha iya, lha wong Qur'an cuma dibunyi-bunyikan saja kok, tidak "dibaca" lebih dalam, apalagi diamalkan, apalagi dihafalkan. Sukur-sukur dimuraja'ahkan. #ya Allah menohok syekali kali ini

"Sebab Al-Qur'an itulah yang telah membentuk kebudayaan dan peri-hidup penganut Islam, yang ditegakkan di atas budi, memperhalus perasaan, memperkaya ingatan dan melemahlembutkan ucapan lidah", tutup Hamka pada bab ini.

Jadi, sudah sampai halaman berapa batas penanda Qur'an kita yang unyu-unyu itu? Yuk nambah ayat, nambah halaman, sukur bisa cepet nambah juz!

@mkusmias yang tersentil abis dibacakan Al-Azhar sama mas bojo

Referensi:
Hamka, Prof.Dr. 2015. Tafsir Al-Azhar Jilid 1. Gema Insani:Jakarta. Hal: 7-8.
Foto: @mkusmias

Judul: Jejak Langkah Said Tuhuleley
Penulis: Tim Penyusun
Penyunting: Agung Prihantoro
Penerbit: Yayasan Shalahuddin Laboratorium Dakwah, Jogja
Cetakan ke/Tahun terbit/Hal: 1/2015/309

“Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata istirahat” (Said Tuhuleley)

Kalimat pembuka pada sampul dalam buku ini sekaligus merupakan jargon hidup tokoh yang dibahas dalam buku ini. Ialah Said Tuhuleley, aktivis-pejuang muslim yang kiprah perjuangannya telah lama ditorehkan sejak Orde Baru. #lamaeuy.

Namanya dikenal sebagai Bapak Pemberdayaan Kaum Duafa. Sematan yang demikian sebab fokus perhatian Bang Said, panggilan keakraban Said Tuhuleley, adalah menolong kaum dhuafa dan mustadh’afin agar bisa hidup wajar. Bisa hidup wajar berarti “Meninggalkan kehidupan yang masih dalam tahapan sub-human, alias belum cukup manusiawi”, begitu istilah Pak Amien menggambarkan garis perjuangan Bang Said. Di buku ini, kiprah perjuangan Bang Said direkam lewat tulisan menurut kesaksian para sahabat beliau.

Buku setebal 309 halaman ini ditulis oleh 50 tokoh yang pernah bersahabat ataupun berjuang bersama dengan Bang Said. Buku ini saya dapatkan sebagai bonus saat mengikuti Pengajian I’tikaf Ramadhan di Kompleks Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta. (aseli nyesel ikut PIR di tahun 2016; saat udah lulus dan udah back to home. Nyesel gak ikut dari dulu-dulu pas masih aktif di Jogja. Muehehe)

Buku bersampul sketsa wajah Bang Said ini terdiri dari 8 bagian dengan total tulisan sebanyak 36 judul. Buku ini dibuka dengan sebuah puisi panjang yang ditulis oleh Mastur Thoyib Kesi. Sejak membaca kata pengantar yang ditulis oleh Pak Amin Rais saja saya sudah dibuat takjub dengan perjuangan seorang Said. Tulisan selanjutnya semakin greget dipaparkan oleh tokoh-tokoh ternama di negeri ini. Mulai dari Pak Zulfikli Halim, Abdullah Hehamahua, Anies Baswedan, Muhammad Aiunun Nadjib (Cak Nun), Jawahir Thontowi, Haedar Nashir, Yunahar Ilyas, Ahmad Sayafi’i Ma’arif, Muhadjir Eeffendy, Ali Gufron Mukti, Moh. Mahfud M.D., dan lain sebagainya. Jika masih asing dengan nama-nama tersebut, haduh, dolanmu kadoen, rek. Huehehe...

Apa sih yang para tokoh terkenal ini tulis? Yap, sesuai dengan judulnya “Jejak Langkah Said Tuhuleley”, buku ini berisi kumpulan tulisan tentang biografi seorang Said dari kacamata masing-masing penulis yang pernah bahkan akrab sampai berjuang bersama dengan Bang Said.

Bagian pertama buku ini “Menjejak dari Saparua”, menggambarkan asal usul seorang Said. Beliau adalah santri yang berasal dari Saparua, Maluku Tengah. Ia memiliki kakak bernama Umar. Keduanya tumbuh menjadi seorang aktivis yang berjuang untuk kepentingan umat. Pernah dengar “nama adalah doa”? Kedua orang tuanya sangat mengagumi sosok Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Lalu kedua anaknya dinamai Umar dan Said, dengan harapan kelak menurunlah sifat dan karakter Pak Tjokro itu pada Umar dan Said. Jelas saja, Umar dikenal sebagai sosok yang tegas, pandai berorasi laiknya pak Tjokro. Said pun juga keras keteguhannya yang berjuang untuk kepentingan umat.

Halaman kiri: Pak Said menerima gelar doktor honoris causa (atas) dan Pak Said terjun saat pemberdayaan masyarakat lemah (bawah).
Halaman kanan: Pak Said bersama santri Budo Mulia (atas) dan perpustakaan di Budi Mulia (bawah)

Pada bagian pertama ini pula, diceritakan kiprah Bang Said dalam dunia kemahasiswaan antara tahun 1974-1984. Tahun 1977-1978 beliau didapuk sebagai Ketua Dema IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang menjadi UNY). Pada tahun itu, ia bersama ketua Dema se-Indonesia melakukan protes dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang tidak berpihak pada rakyat (hal 17). #ini nih yang namanya mahasiswa... #eaa..

Namun keaktifan Bang Said (bersama teman-teman seperjuangannya) dalam gerakan mahasiswa berhadiah penjara. Bang Said ditangkap dan dipenjara tanpa proses peradilan selama 8 bulan pada tahun 1978.

“Mahasiswa adalah pemimpin bangsa pada masa mendatang. Maka, saat duduk di bangku kuliah, mahasiswa harus memahami dan menghayati idealisme bangsanya.” (Said Tuhuleley, hal 18)
Halaman kiri: Pak Said bersama M. Natsir dan Lukman Hakiem (atas) dan Pak Said bersama teman-teman di Markas Sambu Tiga (bawah).
Halaman kanan: Pak Said bersama aktivis Dema UNY 1982 (atas) dan foto serah terima jabatan Ketua Dema 1977/1978 (bawah)

Selain aktif di Dema, nama Said sangat kental dengan HMI dan Dakwah Kampus pada masa itu. Di Gang Sambu Tiga, Mrican, Said bersama teman-temannya sering mengadakan kajian-kajian keislaman dan kajian strategis tentang pergerakan mahasiswa dengan menghadirkan tokoh-tokoh pada waktu itu. Jika boleh diistilahkan, Sambu Tiga menjadi basis kaderisasi HMI masa Said.

Selain aktif dalam dunia kemahasiswaan, perjuangan Bang Said juga merambah ke dalam dunia keumatan yang lebih luas. Saat Pak Amien mendirikan Yayasan Shalahuddin di Kaliurang KM 7 Yogyakarta, Said diajak  bergabung sebagai operator kegiatan. Di sana-lah kemudian Said terlibat dalam Laboratorium Dakwah (Labda) yang menjadi wadah praktikum bagi santri Budi Mulia (hal 28). Pada mulanya Bang Said didapuk sebagai menejer kegiatan. Namun karena Pak Watik Pratiknya semakin sibuk di Pusat Pengkajian Strategis dan Kebijakan (PPSK), Bang Said ditunjuk sebagai Direktur Labda.

Di dunia akademis pun, Said tak absen untuk ikut “bergerak”. Saat UMY didirikan sebagai proyek langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Said diboyong untuk turut membantu di beberapa bidang, antara lain di Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), menjadi komandan Divisi Penerbitan, serta menjadi dosen tetap Fakultas Teknik. Selain itu, beliau menjabat sebagai Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakuktas Teknik UMY.

Dulu, UMY belum begitu terkenal dan wah seperti saat sekarang. Siapa sangka kampus swasta nomor wahid di Indonesia ini dulunya (pada tahun 1984) hanya terdiri dari dua bangunan kecil sebelahan dengan lapangan sepak bola? Bahkan ruang kuliahnya masih menumpang di SPG dan STM Muhammadiyah.

“Pelajaran penting dari kemajuan UMY yang Said Tuhuleley turut andil ini adalah keberannian untuk bermpimpi dan kesiapan untuk bekerja tekun, cerdas dan ulet. Itulah kunci bagi kemajuan lembara umat.” (Pak Amien Rais, hal 31)

Di dalam persyarikatan, lagi-lagi, oleh Pak Amien, Said dimasukkan dalam kepengurusan Majelis Tabligh-nya Muhammadiyah. Sebelumnya, Majelis Tabligh dipandang sebelah mata karena tak segemerlap seperti Majelis Pendidikan dan Majelis PKU. Namun, setelah Bang Said masuk sebagai penggerak Pelatihan Peta Dakwah sebagai pendekatan dan model dakwah, Majelis Tabligh masuk dalam jajaran “majelis papan atas”. #Pak Amien tak salah pilih orang

Pernah dengar gerakan reformasi tahun 1998, kan? Yap, gerakan suksesi kepemimpinan yang digawangi oleh Pak Amien Rais itu, awalnya hanya segelintir orang yang mendukung. Said termasuk ke dalam yang segelintir itu. Said yang mantan aktivis 77/78 dan pernah mendekam dalam jeruji besi selama 8 bulang itu, menjadi laden setia di sisi Amien Rais yang menggaungkan azan suksesi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang dinilai diktatoris.

Halaman kiri: Bang Said mengikuti pertemuan dengan Dirmawa 1974 (atas) dan Bang Said bersama demonstran 1978 (bawah).
Halaman kanan: Suasana demonstran yang istirahat (atas) dan Bang Said saat bersama teman-teman pada tahun 1977 (bawah) 

Meskipun Bang Said berada dalam pasukan reformis kala itu, tapi pada akhirnya beliau tidak bermain sebagai pelaku politik. Bang Said justru lebih dalam “mengabdikan diri” di Persyarikatan Muhammadiyah. Kiprah pengabdiannya kepada umat di Majelis Pemberdayaan Muhammadiyah (MPM) menjadi bentuk pengabdiannya yang paling monumental. Di MPM inilah slogan “Selama rakyat masih menderita tidak ada kata istirahat” dan Surat Al-Ma’un diejawantahkan secara nyata. Bahkan disebut-sebut sebagai slogan pembebasan dan spirit Al-Ma’un.

Di bagian ini, saya mulai tersadar, Islam bukanlah ajaran yang menyuruh umatnya hanya untuk bernyaman-nyaman di atas sajadahnya, merayu Tuhan untuk dihadiahi surga sendirian. Sedangkan di kanan-kirinya, ada banyak orang yang tak tahu tujuan ia dihidupkan. Jangankan tujuan hidup, untuk hidup saja masih kesulitan. Di situlah, semestinya kita mengajak dan menunjukkan orang lain untuk mengenal Islam yang betul-betul rahmatan lil ‘alamin; Islam yang betul-betul membawa rahmat bagi seluruh alam. Rahmat Islam yang bisa dirasakan. Bukan sekedar yang dikoar-koarkan (saja). Lha bagaimana mereka ini -yang berada di golongan bawah- bisa percaya bahwa Islam rahmat bagi seluruh alam -termasuk rahmat bagi mereka-, sedangkan perut mereka terus merongrong kelaparan? Bagaimana pula mereka ini saat didakwahi bisa percaya surga-neraka, sedangkan untuk sekedar makan saja terkadang mereka tak punya?

“Dunia tani, buruh, nelayan, abang becak, dan kaum duafa-mustdh’afin melekat dan menyatu dalam dirinya (Said).” (Haedar Nashir, hal 135)

Melalui pemberdayaan masyarakat, Bang Said mengajarkan kita untuk memahami akar rumput dengan baik. Bahwa, pendidikan harus tinggi, tapi jangan sampai melupakan akar rumput. Bang Said bahkan sempat diangkat di harian Kompas sebagai sosok aktivis pengembangan masyarakat yang kritis dan advokatif. Karena kompetensi di bidang pemberdayaan inilah, saya dan teman-teman sempat mengajak berdiskusi dan menggali ilmu pada beliau saat membuat konsep KKN Program Pemberdayaan Masyarakat tahun 2013-2014 untuk dilaksanakan di Papua Barat. (#niat banget ngelaksanain KKN.)

Kerja Said bersama pasukan MPM menjadi pilar baru dalam sejarah amal usaha Muhammadiyah. Pemberdayaan masyarakat kini tegak sebagai pilar baru dalam dinamika persyarikatan melengkapi pilar pendidikan, dan pilar kesehatan.

Said kecil (kiri atas) bersama keluarga

Namun, di balik kerja kerasnya sebagai pejuang umat, ada bibit penyakit ginjal dan diabetes yang bersemayam di dalam raga beliau, selain penyakit jantung yang ia derita. Setelah berobat di Rumah Sakit Holistik Haryoko di Salatiga dan dinyatakan sembuh dari penyakit jantung, pada 9 Juni 2015 Bang Said mengalami keadaan kritis. Pada tanggal 10 Juni 2015 menjadi “duka sedalam cinta” bagi seluruh umat yang mengenal beliau. Hari itu adalah hari terakhir Bang Said menghembuskan nafas.

Said Tuhuleley hadir di Pesantren Budi Mulia, di Universitas Muhammadiyah, di majelis-majelis Persyarikatan, di KAHMI serta di berbagai lembaga keumatan, dan ia selalu membawa aura ukhuwah yang menebar amal kebajikan. Pantaslah kepergiannya membawa duka yang menikam semuanya. Tak heran bila beliau dikebumikan dan makamnya diapit oleh dua pusara pendiri organisasi umat Islam; K.H Ahmad Dahlan  dan A.R. Fachruddin. Keduanya adalah tokoh Muhammdiyah yang diteladani oleh Bang Said.
--
Meskipun buku ini terbagi menjadi 8 bab, tapi setiap judul memiliki inti cerita yang hampir sama; kiprah perjuangan Bang Said menurut kaca mata penulis. Tak heran bila beberapa hal terkesan diceritakan secara berulang. Namun, buku ini tetap ciamik dengan gaya bahasa para cendekiawan dalam menggambarkan pemikiran, sepak terjang, dan pribadi Bang Said secara lengkap dari pusparagam perspektif.

Di bab terakhir buku ini menampilkan foto-foto Bang Said dalam banyak momen; saat di depan Gedung Parlemen Inggris, menerima penganugerahan gelar doktor honoris causa, saat terjun langsung untuk memberdayakan masyarakat lemah, foto Bang Said bersama santri Budi Mulia, foto Bang Said bersama M. Natsir –tokoh yang ia kagumi-, markas Sambu Tiga Mrican, hingga saat terjun bersama para demonstran 1979.

Khatam membaca buku ini menjadikan pembaca paham kenapa sosok seorang Said terasa sangat perlu untuk direkam dalam Jejak Langkah ini. Buku ini sangat disarankan kepada mereka kaum mahasiswa (yang katanya mahasibuk) atau pemuda yang agar kesibukannya mendekat pada umat. Keshalihannya bisa menshalihkan orang banyak. Dan kecerdasannya mencerdaskan banyak kalangan.

Membaca buku ini berarti mengenang, meneladani, meneruskan, dan mengobarkan perjuangan yang telah tercetak tebal dalam sejarah gerakan mahasiswa, pemetaan dakwah Islam, reformasi pendidikan, dan pemeberdayaan masyarakat lemah.

Jadi, boleh banget kamu tambahkan buku bacaan semacam ini, agar yang dikenal bukan hanya tentang cinta-aku suda dia-dan kapan menikah (melulu). #huehuehue. Sebab, hidup tak hanya sekedar tentang bunga dan kupu-kupu. Banyak orang bijak bilang, hidup itu tentang bagaimana bisa bermanfaat. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, bukan? 

Salam baik,
@mkusmias yang sedang belajar bermanfaat


http://as.uinsgd.ac.id

“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan satu negeri secara zalim, sedang penduduknya adalah penyeru kebaikan.”
Ayat yang menjadi pembuka tulisan kali ini diambil dari ayat ke-117 dalam surat Hud (surat ke-11). Jika kita mencermati ayat di atas, kita akan mendapati kata mushlihuun, bukannya shaalihuun. Nampaknya ada yang menarik untuk kita ulik tentang pilihan kata yang Allah turunkan di dalam ayat ini.

Mushlihun dan shalihuun, apa bedanya? Mushlihuun merujuk pada makna orang yang mushlih, artinya orang yang kebaikannya bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain (khairuhu linafsihi wa lighoirihi). Sedangkan shaalihuun merujuk pada makna orang yang shalih, yaitu orang yang kebaikannya bermanfaat untuk dirinya (khairuhu linafsihi).
Ada hal yang nampaknya menarik untuk kita pahami. Melalui ayat tersebut, Allah menerangkan kepada kita bahwa menjadi shalih saja ternyata belum cukup sebagai penolak adzab dari Allah. Akan tetapi eksistensi orang-orang mushlih-lah yang tok cer untuk menjadi penolak arus bala yang Allah alirkan kepada penduduk bumi yang zalim.
Keberadaan orang-orang shalih yang doanya menguntai panjang ke langit, dzikirnya menenangkan jiwa dan alam raya, dan amal shalihnya  yang menggunung pahala. Ternyata itu semua belum cukup menjadi benteng dari turunnya adzab dan bencana di dunia. Orang shalih terlalu egois untuk ‘menyelamatkan’ dirinya dari ancama dosa. Ia lupa bahwa Allah menginginkan pikirannya tak sekedar melangit. Tapi jiwanya harus down to earth, tetap turun menyentuh bumi.
Orang-orang mushlih-lah yang Allah jadikan benteng dari bala yang akan Ia turunkan kepada penduduk yang zalim. Merekalah orang-orang yang dengan keshalihannya berusaha membaikkan umat, dengan ilmunya ia pahamkan orang-orang yang bodoh terhadap agama dan dunia, dan yang dengan akhlaknya ia memberi contoh kebaikan untuk dijadikan teladan bagi orang-orang yang kehilangan pijakan. Orang-orang mushlih-lah yang dengan suaranya membangunkan orang-orang yang lelap tertidur dibuai dunia, dan untaian katanya mengingatkan para pelalai yang lupa akan tugas utama ia diciptakan.
Jika kita masih dalam sangkalan, “Ah, masa’ kalau kita sudah shalihAllah tetap turunkan bala hingga kita kecipratan adzab-Nya?”. Maka itulah pertanyaan yang sama dalam riwayat Al-Bukhari, dilontarkan Zainab binti Jahsy kepada Rasulullah suatu kali. Jawaban atas pertanyaan tersebut pun akan selalu sama dengan jawaban dari Rasulullah, “Ya, jika kemaksiatan merajalela.”
Kemaksiatan merajalela karena orang shalih yang berada di dalamnya tetap dengan sajadah panjangnya, tasbih di tangannya dan bacaan dzikir lantunannya, lalu membiarkan keburukan tetap merajalela. Agama ini sungguh tepat menurunkan tuntunan. Yakni ajaran agar manusia memperbanyak ibadah hingga pahalanya melangit, juga menyuruh keluar dari lingkaran egosentris dan bergegas mendekati umat di bumi untuk mengajak kepada kema’rufan.
Jika dalam proses menjadi mushlih dengan membaikkan lingkungan sekitar itu sungguh teramat sulit rasanya, mari kita ingat nasehat Lukman kepada anaknya, “Hai anakku, tegakkan shalat, perintahkan kebaikan, laranglah kemungkaran dan bersabarlah atas apa yang menimpamu!” (Q.S Lukman: 17). Lukman mengajarkan anaknya agar mengakhiri usaha dengan sabar.
Bukankah tugas kita hanya berkaitan dengan usaha saja? Maka bersabar adalah go ahead dengan seruan kebaikannya, lalu menyerahkan hasil kepada Allah saja. 
Sebagai pungkasnya, saya ingin memanjatkan doa sebagaimana harapan yang pernah seorang bijak haturkan, “Mudah-mudahan, Allah mengampuni dosa-dosa kita, menjadikan pikiran kita melangit dan jiwa kita membumi.”
Wallahu a’lam. 
Salam baik,
@mkusmias yang bersyukur masih ditemani orang-orang shalih yang mushlih

Judul : Seteru 1 Guru. Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto: Soekarno, Musso, Kartosoewirjo
Penulis : Haris Priyatna
Penerbit : Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka)
Cetakan ke : 1
Tahun : April 2015
Tebal : 243 hal
Genre : Novel sejarah

“Anak-anak, aku bangga pada kalian. Semoga kalian kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini. Tapi ingat, bersatu, jangan cerai-berai. Sekali lagi ingatlah kekuatan sapu lidi. Jika lidi-lidi itu disatukan, maka menjadi kuat, susah untuk dipatahkan. Tapi, ambil sebatang lidi maka gampang sekali kau bisa mematahkannya.” (Tjokroaminoto, hal. 104)

Bangsa ini memiliki banyak pejuang yang perlahan ingin melepaskan belenggu dari rantai penjajahan. Tiga diantaranya ialah Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Nama yang pertama tentu yang paling umum kita dengar dan kenal. Sebab hanya satu nama itu yang paling sering ditulis dalam buku-buku pelajaran sejak kita masih ingusan baheula. Kedua nama selanjutnya jarang kita dengar kecuali sangat terbatas. Jika nama Soekarno selalu diistilahkan dengan nama “pahlawan” yang sesungguhnya, Musso dan Kartosoewirjo sering didekatkan dengan istilah “pemberontak” dan “musuh” yang harus ditumpas. Sejarah bangsa ini ditulis begitu hitam-putih. Namun novel ini menyajikan gambaran sejarah yang dinarasikan secara apik sehingga pembaca tak hanya memandang hanya ada dua warna hitam dan putih yang mewarnai jejak sejarah bangsa.

Novel berlatar sejarah pra dan pasca revolusi ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama Kemelut, berisi tentang ketiga tokoh yang terlibat dalam geliat pergerakan pribumi untuk memberontak penjajah. Bagian kedua, Internaat (Asrama), bercerita tentang kehidupan Kusno (panggilan Soekarno saat kecil), Musso, dan Kartosoewirjo yang indekos di Peneleh VII, Surabaya. Di sana, Pak Tjokro menjadi bapak kos sekaligus guru bagi ketiganya semasa muda. Di kos Peneleh VII inilah mereka dipertemukan, lalu bersahabat, kemudian bersama-sama berguru kepada Tjokroaminoto. 

Di Peneleh VII inilah juga pertama kali Soekarno membaca buku-buku tentang revolusi yang dipinjami Pak Tjokro. Kusno yang pengagum Tjokro itu belajar berpidato dari cara Pak Tjipto berpidato. Begitu pula Musso, dari kos ini ia mulai mengenal Oom Sneevliet. Tak ketinggalan Karto, yang juga mengagumi Pak Tjokro hingga menjabat sebagai sekretaris Sarekat Islam.

Di rumah Tjokro kerap didatangai orang-orang penting Sarekat Islam. Ketiganya juga sering mengikutsertakan diri ke dalam kegiatan SI. Tak ayal semangat perjuangan aktivis SI menular pada mereka. Tjokroaminoto yang seorang pimpinan Sarekat Islam itu mengenalkan politik, cinta tanah air, organisasi dan Islam kepada anak-anak yang indekos di tempatnya.

Halaman kiri : foto Stasiun Semut Surabaya (atas) dan kantor pos tempat Musso pernah bekerja (bawah). Halaman kanan: foto rumah Tjokroaminoto

Bagian ketiga Kulminasi, yang menjadi titik klimaks pergulatan ideologi dari ketiga tokoh kita ini. Meski pernah seatap dan seguru, Karno, Musso, dan Karto pada akhirnya berpisah di persimpangan ideologi yang saling berbeda. Karno memilih jalan sebagai seorang nasionalis. Nasionalisme-nya menjadi ideologi yang pada akhirnya dipakai sebagai pijakan bangsa Indonesia hingga kini. Pada awalnya, Karno mengikuti ideologi Tjokroaminoto, guru yang pernah menjadi mertuanya tersebut. Namun menurut Karno, pandangan Tjokro tentang kemerdekaan tanah air terasa kaku dan sempit karena ditinjau melalui konsep mikroskop Islam. Bangsa pada masa itu membutuhkan wadah yang lebih besar daripada Islam untuk bisa membangkitkan seluruh unsur bangsa ini (hal 166). Sedangkan Musso memilih jalan komunisme, paham yang ia bawa dari Moskow. Lalu Karto menganut paham Islam radikal.  

Persimpangan inilah yang menarik bagi saya. Sahabat satu atap, satu guru, bahkan satu nasib selama “nunut” di kos-kosan pak Tjipto selama masih sekolah. Namun mereka menemukan kecenderungan hati dan pemikiran yang saling berbeda satu sama lain. Hingga akhirnya saling berpisah di persimpangan ideologi yang berbeda.

Membaca novel ini, membikin saya berfikir bahwa tak ada satu hal pun yang tak meminta pengorbanan. Ideologi sekalipun. Musso dengan pendirian komunisme yang ingin mengubah haluan negara bangsa ini harus melakukan perjuangan menurut versinya hingga mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menurutnya, bangsa ini tak kan bisa maju di bawah kepemimpinan kaum borjuis. Sebaliknya, kemajuan bangsa bisa dicapai dari kekuatan kalangan bawah, kaum proleter. Paham komunisme akhirnya diberantas. Musso diburu dan tertembak oleh tentara Republik setelah tragedi Madiun 1948.
 
Halaman kiri : Foto Amir Syarifudin. Halaman kanan : Peta pelarian PKI dari Madiun (atas) dan Musso tewas tertembak (bawah)


Sama seperti Musso, Karto pun memiliki pandangan sendiri tentang haluan yang seharusnya dipakai bangsa ini. Ia menggagas Negara Islam Indonesia. Gagasan ini berawal dari kekecewaannya terhadap perjanjian Roem-Royen. Menurutnya, perjanjian itu telah menjual Indonesia dan  menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Bagi Karto, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab saat itu. Saat Hatta berangkat ke Den Haag untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar, itulah saat yang tepat menurut Karto untuk membacakan maklumat berdirinya Negara Islam Indonesia. Gagasan ini pun dianggap ancaman bagi Republik. Karto dan pasukannya diburu. Pada akhirnya Karto ditangkap di gubuknya yang berada sekitar Gunung Geber Majalaya setelah sebelumnya bersembunyi di gunung-gunung di Jawa Barat. Lalu, Karto mendapat vonis hukuman mati atas tiga dakwaan: berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah, dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno (hal 240). Hati Pak Karno bergejolak kala harus menandatangani surat eksekusi mati untuk Karto. Bagaimana pun, Karto adalah senior sekaligus sahabat Kusno semasa tinggal di Peneleh VII dahulu. Di bagian ini, seolah saya bisa merasakan bagaimana pergulatan hati Pak Karno. Coba bayangkan! Jika kita punya teman yang dulu pernah satu atap, suka duka seirama menjadi anak kosan. Dan akhirnya rekan kita harus mati dieksekusi dengan surat yang kita tandatangani, yang salah satu alasannya karena dia berusaha membunuh kita. *ikut mbrebes mimbik-mimbik

Tapi ya begitulah. Tak ada hal yang menjadi pasti. Persahabatan sekalipun. Sekarang menjadi sahabat, belum pasti esok tetap sahabat. Pun sebaliknya. Sebab kita bukan pengendali orang lain. Kita tak punya remote kontrol untuk mengendalikan isi kepala seseorang, juga hatinya. Betapa kita ini harus insaf betul bahwa yang kekal hanya Allah. Maka kepada Dia-lah kita bergantung. Bukan pada manusia, sebaik apapun ia.

Di novel ini, tokoh Karno lebih banyak diceritakan kisah hidupnya dibanding Musso atau pun Karto, hal yang membuat sedikit sedih (#hiks). Seperti kisah Karto yang menikahi putri Tjokro, Oetari. Lalu Soekarno yang melanjutkan sekolah di Bandung hingga akhirnya Oetari dikembalikan ke Pak Tjipto secara baik-baik. Tak ada kisah mendalam semacam ini tentang Musso dan Karto.

Tentang kebengisan PKI, tak luput juga diceritakan dalam novel ini. Barisan warok Ponorogo (PKI) melakukan pembantaian setelah Madiun kala itu ditaklukan. Bahkan dimana saja ada orang Masyumi, PNI, atau orang yang mencurigakan, tanpa banyak cincong langsung mereka dor, lalu lehernya ditebas dengan kelewang. Tak ada yang berani mengangkat mayatnya hingga berhari-hari (Hal 203). Saat pelarian PKI dari Madiun, para pengawal barisan sering kali besikap bengis. Mereka tanpa segan membunuh setiap yang terjatuh karena kelelahan, sakit atau yang berusaha lari. (Hal 212) #syerem

Secara keseluruhan, saya suka cara penulis menceritakan sejarah melalui novel ini. Apalagi, kisahnya nyata dan benar ada. Apalagi, kisah itu dialami oleh para pejuang pembebasan bangsa ini. Novel ini semakin apik dengan ditampilkannya beberapa foto; Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo, Amir Syarifudin, A. H Nasution, dan Semaon. Selain itu ada juga beberapa potret Stasiun Semut kala dulu, kantor pos Surabaya tempat kerja Musso, Rumah Pak Tjokro di Peneleh VII, peta pelarian PKI dari Madiun, dan teks proklamasi NII. 
Halaman kiri: foto Semaoen. Halaman kanan: foto sekolah Soekarno, Musso, dan Karto

Sayangnya, foto-foto tersebut diletakkan di halaman tengah buku, yang sedikit mengganggu saat membaca cerita dalam novel. Sebetulnya, foto-foto ini akan makin epik jika diletakkan di halaman paling belakang, setelah novel selesai diceritakan. (kayak buku “Ayah”-nya Irfan Hamka yang menuliskan tentang sosok ayahnya, Hamka. Di dalam buku itu kan disertakan foto-foto Prof. Hamka di halaman akhir.)

Halaman kiri: teks proklamasi NII. Halaman kanan: foto Kartosoewirjo menjelang eksekusi mati


Setelah membaca novel ini, kok ya ada perasaan sedikit kecewa. Kenapa tidak dari dulu membaca buku semacam ini?! Sejarah kita, seringnya dikemas dengan sangat kaku di buku-buku paket SD hingga SMA. Seolah hanya ada warna hitam dan putih. Padahal sejarah bisa diceritakan kepada anak bangsa lewat novel menarik yang tidak meninggalkan esensinya semisal ini. Novel ini membuat saya menyadari, bahwa ada banyak pusaran ide yang ikut membentuk bangsa ini. Juga satu hal yang menarik menjadi kontemplasi (#halah). Bahwa sungguh berbeda polemik politik masa pergerakan dulu dengan sekarang. Dahulu, para tokoh berkonflik karena perbedaan visi yang melahirkan kemerdekaan. Sedangkan sekarang, politisi bertikai untuk kepentingan pribadi yang hanya menghasilkan pengurasan. #hiks

Dan novel ini diakhiri dengan perkataan Harun (ini juga menjadi salah satu point yang saya suka dari novel Seteru 1 Guru), anggota SI yang juga pengusaha batik dari Solo, “Tapi, yang pasti mereka semua mewarisi satu hal dari Pak Tjokro, sifat yang keras.”

“dan mereka bertiga memiliki cita-cita yang sama: Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan sejahtera. Andai mereka saling bekerja sama –menyatupadukan kecerdasan, keberanian, dan kekuatan mereka sambil mengesampingkan perbedaan- seperti yang diharapkan pak Tjokro.” (hal 243)

Dan lagi, saya mendapat perenungan. Bahwa begitulah seharusnya kita, yang saat ini sangat mudah dibenturkan dengan perbedaan-perbedaan sesama anak bangsa. Kita yang bertugas melanjutkan dan mengisi kemerdekaam bangsa ini, sudah seharusnya menyatupadukan kecerdasan, keberanian, dan kekuatan yang dimiliki. Sembari mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada. Sebab, tentu tak ada yang menginginkan adanya pertumpahan darah (kembali) yang disulut hanya karena perbedaan pandangan maupun perbedaan yang lain di negeri ini. #Maunya sih, aku dan kamu tetap jadi kita, yang bersatu padu. #Uwuwuwu.

Jika kamu ingin membaca sejarah yang tak kaku, melalui narasi yang lebih hidup, novel ini cocok untuk ditambahkan ke dalam list bacaanmu.


@mkusmias yang lagi gandrung dengan novel dan sejarah

Negeri ini tidaklah kekurangan orang pintar, yang kurang dari negeri kita ini adalah orang baik. Untungnya, dalam momen yang berdekatan dengan hari guru nasional kemarin, orang-orang baik (dan pintar tentu saja) yang mulai langka ini menunjukkan contohnya.
Catat dua nama ini: Gus Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Mbah Kiai Maimun Zubair.
Dihina dan dihujat di media sosial hanya karena hal yang bersifat khilafiyah, dua sesepuh umat Islam ini menunjukkan respons yang luar biasa. Mereka menunjukkan bagaimana menjadi menjadi sosok yang bisa digugu dan ditiru.
Uniknya, tidak hanya memaafkan, keduanya malah sukarela “disowani” oleh orang-orang yang secara terbuka menghinanya.
Lebih ajaib lagi Gus Mus. Bukan hanya menerima dan menyambut hangat, beliau malah memberikan nomor whatsapp-nya. Alasannya pun lucu: supaya si penghujat, kalau mau uring-uringan dengan pendapat Gus Mus tidak perlu ada orang lain yang tahu.
Ini kan bikin iri betul! Saya malah curiga, jangan-jangan orang ini sengaja menghina biar dekat sama Gus Mus. Sayang sekali, kok ya saya ini tidak rela dan tidak berani jika harus menggunakan cara yang sama biar bisa dekat dengan idola saya ini.
Apa yang ditunjukkan Gus Mus dan Mbah Kiai Maimun mengingatkan saya akan hal yang juga pernah dilakukan Zakia Belkhiri beberapa bulan silam (pertengahan Mei) di Belgia. Diawali dari terpilihnya seorang Muslim bernama Sadiq Khan sebagai walikota London, gerakan anti-Islam kembali mengemuka di beberapa negara Eropa. Salah satunya Belgia.
Aksi Belkhiri ini sempat jadi buah bibir di media sosial kalau Anda ingat. Waktu itu, dengan enteng Belkhiri yang kebetulan lewat di Antwerpen, melihat gerombolan massa gerakan anti-Islam ini. Bukannya ciut nyali karena dirinya adalah bagian dari “objek” yang sedang “dilawan”, Belkhiri malah mengambil hapenya, lalu melakukan hal yang tidak akan dilakukan oleh Ahok di hadapan Habib Rizieq sekalipun, yakni: selfie!
Yak. Selfie di depan tulisan-tulisan “no headscarves” atau “stop Islam”. Yakin deh, ini keren betul. Bukannya terbakar amarah karena merasa didiskriminasi, Bakhiri malah menunjukkan karamahtamahan yang sejatinya bikin malu peserta demonstran. Dia menyerang balik dengan cara tak terduka. Serangan yang dengan sangat telak memukul balik para demonstran.
Hal yang dengan jelas menunjukkan, siapa sebenarnya “pemenang” dari kejadian tersebut. Yang demo ya terpaksa ikut senyum-senyum waktu diajak selfie Belkhiri. Yah, meski senyumnya sedikit kecut sih.
Reaksi-reaksi semacam inilah yang belakang mulai jadi barang langka di negeri ini. Apa yang ditunjukkan Gus Mus, Mbah Kiai Maimun, sampai Belkhiri adalah bukti bahwa ada “cara terbaik” untuk menunjukkan bahwa wajah Islam adalah wajah adab maupun peradaban.
Nah, sebelum jauh membahas soal Islam dan peradaban ini, perlu saya ceritakan bagaimana santri belajar ngaji di pesantren untuk memberi sedikit “asbabul nuzul”-nya. Yah, istilahnya sebab kenapa kita harus mengutamakan adab yang baik dulu sebelum menginjak ke hal-hal yang lebih rumit—utamanya dalam persoalan syariat. Dan tidak perlu jauh-jauh, saya akan ambil contoh dari pesantren saya saja.
Begini. Jauh sebelum mempelajari ilmu fiqih, nahwu, sorof, sampai balaghoh, atau ilmu-ilmu rumit lainnya. Seorang santri angkatan pertama akan disodori dua kitab yang mesti dikhatamkan terlebih dahulu. Yakni Akhlaqul lilbanin dan Ta’lim muta’alim.
Bagi yang pernah mondok, atau punya saudara yang pernah mondok, mungkin familiar dengan dua kitab ini. Kitab-kitab ini secara garis besar berisi mengenai bagaimana berperilaku, adab, dan akhlak kepada orang lebih tua, lebih muda, atau orang-orang yang dianggap sebagai “guru”.
Saya tidak akan menceritakan isi dua kitab tersebut secara detil di sini, karena memang saya tidak punya kredibilitas yang cukup untuk memberitahu situ apa saja pelajaran di dalamnya. Kalau situ penasaran ya saran saya; silakan mondok atau masukkan anak situ ke pondok.
Yang lebih ingin saya tekankan di sini adalah—yah, menurut kesimpulan saya bertahun-tahun kemudian—ada alasan khusus kenapa dua kitab ini jadi “wajib” dipelajari di awal. Begini. Seorang santri lebih diutamakan jadi orang baik lebih dahulu, bukan jadi orang pintar dulu. Poinnya tentu saja bukan kemudian menjadi santri itu tidak boleh pintar. Tidak, bukan itu. Titik tujuan praktik ini sebenarnya adalah mengajarkan seseorang yang belajar agama diutamakan agar dirinya membiasakan berperilaku baik pada mulanya. Menolong orang lain, bersabar ketika dihina, membantu nenek-nenek yang mau menyeberang jalan, yah, pokoknya mirip-miriplah dengan apa yang ada di buku pelajaran PMP zaman orde baru.
Harapannya, saat kemudian si santri kemudian diisi dengan pelajaran-pelajaran agama yang lebih rumit. Penerapan ilmu di masyarakat nantinya tidak hanya soal konsep benar atau salah saja, namun juga soal cara penanganan yang baik atau buruk juga.
Sebabnya tentu saja didasari karena agama berisi mengenai ajaran kebaikan. Kan jadi percuma situ mengajarkan kebaikan tapi menyampaikannya tidak dengan cara baik-baik. Membentak-bentak, mata merah menyala, otot leher keluar semua kemana-mana sampai tidak pulang-pulang, misalnya.
Toh, sekalipun yang situ ucapkan adalah kebenaran dan ada dalilnya—soheh lagi, kebenaran yang situ sampaikan akan terasa kasar dan bakal terlihat mengerikan. Tuhan tidak semenakutkan itu kok, jadi tidak usahlah diseram-seramkan begitu. Daripada menunjukkan kebenaran lewat cara-cara panasnya api neraka, mengapa sih tidak menyampaikan kebenaran dari perspektif betapa teduh Tuhan pemilik semesta?
Ini penting, karena menjadi pintar itu bisa diupayakan semua orang, dan semua orang mau melakukannya. Namun menjadi orang baik, itu perkara yang berbeda. Alasannya tentu saja karena kebaikan tidaklah semewah kebenaran. Menjadi orang baik tidak sekeren jadi orang pintar.
Orang pintar mah enak, cari duit gampang, mobilnya keren-keren, kalau bicara didengarkan banyak orang, sekali mengatakan “salah” pada orang lain, semua orang akan mengamini. Banyak yang mendukung, tidak hanya santri-santrinya saja, namun kadang pejabat-pejabat pula.
Coba bandingkan dengan orang baik—terutama golongan orang baik yang tidak merasa dirinya pintar, baru ngomong perkara bid’ah saja, sudah dicacimaki habis-habisan. Baru menghimbau untuk mudah memaafkan orang lain saja sudah disesat-sesatkan.
Namun apakah dengan begitu orang baik akan marah?
Oh, jelas tidak. Orang baik memiliki pondasi adab yang lebih baik. Golongan ini punya pondasi akhlak yang luar biasa. Ya, karena pendidikan golongan orang-orang ini didasari dari bagaimana membangun peradaban lebih dahulu, bukan bagaimana mencetak dan membesarkan orang-orang pintar lebih dahulu.
Ingat, keilmuan lebih erat kaitannya dengan peradaban daripada orang-orang pintar dadakan.
Jadi, situ mau beradab atau cuma mau pintar saja?
*Dimuat pertama kali di mojok.co yang sudah tutup itu lho...#hiks. Tulisan mas Khadafi Ahmad dengan judul asli "Situ Mau Beradab atau cuma Mau Pintar?" sengaja saya arsipkan di blog pribadi sebab pas pertama kali baca kok ya sering membikin saya manggut-manggut dan menemukan banyak kontemplasi. #halah.. Nyuwun ijin njih, mas Daf.

@mkusmias yang masih berharap muncul keajaiban dunia ke-8 berupa dibukanya kembali mojok.co 


Satu hari yang lalu, di siang hari yang panasnya cukup menggerahkan itu, sa pu adek (adik saya yang) perempuan dan sepupu sedang gembira merayakan lotisan di belakang rumah. Tempat itu memang cukup yoi sekali untuk sekedar ngegosip bagi para ibu-ibu, ngisis di siang yang panas, menyendiri untuk menemukan kontemplasi, sampai forga (forum keluarga) dengan agenda lotisan bareng-bareng. Acara bareng yang saya sebutkan terakhir ini, membikin saya selalu tertawa jika ingat cerita yang terjadi pada kemarin hari.

Seperti yang saya sebutkan di awal, adek perempuan (sebut saja Mahoni, bukan nama sebenarnya, 22 tahun, dan masih single loh. #Trus njuk ngopo), satu sepupu sebut saja Dodik, dan yang satu lagi sebut saja Yoga masih berumur 3 tahun. Mereka sedang bahagia berlotis ria di belakang rumah yang teduh pas siang hari itu.

Yah, namanya orang jawa, tak jarang selalu mempersilakan orang lain untuk memulai melahap dan menikmati makanan yang terhidang. Di tengah-tengah menyantap lotis yang sesuai namanya yang pasti rasanya pedas itu, Yoga cuma sekedar ikut-ikutan lotisan. Dasar Dodik yang seperti kebanyakan anak muda usil, selalu bilang pada Yoga, Ayo, Yog. Ndang, jipuk meneh (ayo, Yog. Cepet, ambil lagi),” Dodik membungkus usil berkedok penyemangatan. Kalau Yoga sudah selesai pada lahapan pertama, Dodik selalu meng-ayo-ayo-i Yoga untuk terus melahap buah dan sambel lotisnya itu.

Yah, namanya juga Yoga yang masih anak-anak umur 3 tahun, dan dasarnya anak’e bapak’e yang doyan pedes, selalu manut saja apa yang disuruh Dodik. Sampai pada beberapa saat, Mahoni dan Dodik dibuat tegang sekaligus ngguyokne dengan apa yang terjadi pada Yoga. Yoga tiba-tiba mandeg makan lotisnya. Duduknya masih seperti semula, masih saja bersila. Tangannya yang awalnya memegang mentimun berbalur sambel, sudah berganti memegang perutnya. Kepalanya miring sebelah seperti orang kecapekan dengan mata tinggal 5 watt. Yoga masih diam saja, ora ono banek’e, tidak bersuara. Dua orang di sampingnya tetiba jadi agak panik.

Yog, kenek opo koe. Yog.. Yog.. Heh, kenek opo koe?” Dodik menggoyang-goyang tubuh Yoga yang pancen pawak’ane cilik itu. Mata Yoga sudah semakin sipit dengan tetap tanpa ekspresi dan tanpa suara blas. Demi melihat pemandangan itu, Mahoni malah tertawa terpingkal-pingkal. Ekspresi Yoga yang tanpa ekspresi itu lho membikin Mahoni malah terasa seperti disuguhi lawakan.

Yu, ketok e kepedesen iki. Golekno ngombe gek ndang, Yu! (Mbak, kayaknya kepedesan ini. Cepet cari minum cepet, mbak!).” Spontan donk Dodik curiga kalau Yoga tak berkutik karena kepedesan. Iya lah, penyebab paling dekat karena kepedesan, ha wong mereka lagi lotisan. Yen njerit-njerit kui lagi numpak roller coaster.

Si mbak Yu Mahoni langsung sigap lari ke dalam rumah, membuka pintu kulkas, menyabet sebotol air dingin, hap lalu ditangkap segera lari ke tempat nglotis tadi. Tak perlu lama-lama segera ditegak air mineral dalam botol tadi oleh Yoga. Dan tak perlu lama-lama juga, wajah Yoga semakin lama nampak semakin terlihat ekspresinya.

“Ahhhhhhhh…..” terdengar suara Yoga dengan penuh kelegaan dan polos setelah menegak air mineral. Wajahnya sudah terlihat segar kembali. Oalah le.. le… anak’e bapak ibune. Ha mbok ngobrol donk kalau kepedesan.

Demi melihat suara lega dan wajah Yoga yang terlihat kembali “bernyawa”, Mahoni dan Dodik kembali tertawa terpingkal-pingkal. Pada saat kejadian ini berlangsung, sebenarnya saya berada di depan rumah menggendong Arya, Yoga pu adek (adiknya Yoga, yang baru berusia 10 bulan. Yah namanya (t)ante-(t)ante, kalau selo sithik di rumah tugasnya ngemong ponakan-ponakan). Suara pingkalan mereka terdengar oleh saya yang berada di depan rumah. Tapi sedikit pun saya tidak tertarik untuk menuju ke belakang demi melihat apa yang terjadi. Mereka mah kalau sudah ketemu begitu, jadi saya gak heran kalau terdengarnya ribut.

Saya baru berjalan ke belakang saat sudah ngrasakne betapa pegelnya nggendong Arya yang ginuk-ginuk itu. Pas sudah mendekati mereka, Yoga masih melanjutkan meneguk air mineral sebagai ikhtiarnya untuk menghilangkan kepedesan dan mengumpulkan nyawanya agar kembali full tank. Mahoni dan Dodik masih saja tertawa dengan yang baru saja terjadi. Sebagaimana orang yang terheran-heran, saya bertanya apa yang terjadi. Setelah mendengarkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya itu, saya tertular dan tak bisa menahan tawa. Oalah le…le… pedes kok diempet (ditahan). Ngempet kok roso pedes. ha mbok yo ngempet biar tidak mentahdzir-tahdzirkan saudara sendiri saja. #Eh.

Padahal, biasanya, anak kecil itu justru paling tidak bisa menyembunyikan ekspresi hlo ya. Tapi cen kejadian bocah siji iki lunyu eh lucu tenan.

Dari rada panjangnya cerita ini, kok saya jadi menemukan kontemplasi. Urip iku, selain kudu urup, selayaknya memang harus diekspresikan. Jangan ditahan-tahan, nanti jadi gak tahan. Hidup itu memang harus lempeng pada dogma-dogma yang sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing itu, yang tidak bisa diganggu-gugat. Tapi, selain dari itu, boleh lho diekspresikan. Boleh lho bilang “huh hah” kalau memang kepedesan. Normal kok kalau kepedesan setelah bilang “huh hah” trus tratapan nyari air. Kan jadi lunyu eh lucu seperti Yoga yang diam saja sampe kayak kliyengan hampir semaot eh semaput gegara nahan pedes. Mungkin anak berumur 3 tahun itu takut bilang kepedesan, lalu takut jadi merepotkan mereka berdua yang lagi bahagia menyantap lotisan. Atau jangan-jangan, sebenarnya sih takut karena kalau mak tratap pergi ke dalam rumah mencari air mineral, dan kembali ke belakang rumah dengan lotis yang sudah dihabiskan dua anak muda itu. Duh dek, yang mana alasanmu? Aku gak mudeng.

Kembali ke kontemplasi. Hidup itu memang selayaknya disuarakan, bukan dipendam, apalagi didiamkan. Dan, lagi-lagi saya kembali belajar, bahwa untuk bisa “bersuara” dimulai dari memupuk keberanian. Mau bisa menyuarakan sesuatu tapi tidak pernah mencoba untuk berani? Itu seperti menunggu Anggun jadi duta shampoo lain. Tidak pernah terjadi.

Saya ini bukan orang pemberani kok. Hanya saja, insyaa Allah saya ini mau belajar, termasuk mau belajar dan memupuk berani. Agar pada saat-saat yang tepat, semoga urat nadi takut itu putus, lalu muncullah yang dinamakan berani. Tentu berani yang saya maksud di sini berani dalam hal-hal yang baik, sist. Berani untuk mengambil peran dalam kebermanfaatan juga ya, bro. Saya ini masih punya nyali yang ciut, kadang penakut. Tapi saya serasa mendapat sebuah wangsit dari kejadian jenaka Yoga de ka ka ini.

Tentang “berani”, nampaknya memang menjadi sesuatu yang penting dalam hidup seorang manusia. Kalau tidak, tidak mungkin Hamka menuliskan cukup panjang bahasan tentang berani pada Bab ke-6 dalam buku Falsafah Hidup-nya. Menurut Hamka, berani itu berkaitan dengan fiqh prioritas, yakni memilih satu jalan untuk menghindarkan diri dari bahaya yang lebih besar. Ada banyak hal yang disampaikan Hamka tentang berani. Mudah-mudahan saya berkesempatan menyambung di bagian kedua dari judul tulisan yang ala-ala ini. hehe

Tapi, biar tulisan ini rada ngehek, saya mau melanjutkan barang sedikit. Masih saya kutip dari tulisan Hamka,
“Apakah harganya segulung diploma, kalau dalam hati yang empunya itu tidak ada keberanian?
Kalau pengecut, walaupun banyak ilmu, besar gulungan diploma, masyarakat tidaklah akan mendapat untung daripadanya. Jangankan masyarakat, bahkan dirinya sendiri pun tidak akan memperoleh untung dari diploma itu sendiri. Orang pengecut, pekerjaannya selalu sia-sia. Duduknya di bawah. Dia tak berani ke atas. Dia hanya jadi pengikut, tidak berani diikuti. Atau menggerutu di belakang.”

Pertanyaan retoris Hamka di awal penggalan kalimat di atas sungguh-sungguh mak jleb rasanya. Iya, benar. Apa gunanya kita ini capek-capek yang kelihatannya menimba ilmu, tapi tidak punya apa yang disebut berani. Kalimat terakhir dari kutipan di atas juga rasane tidak kalah mak jleb. Sebab, orang yang tak berani ke muka itu disebut pengecut. Dan pengecut itu hanya memiliki satu keberanian, yakni menggerutu di belakang.

Jadi, kalau kita ini masih suka diam dan mendiamkan, tak mau bicara meski untuk hal-hal yang baik, ditambah lagi menahan-nahan padahal sejatinya tidak perlu ditahan-tahan, apa donk bedanya kita dengan anak umur 3 tahun? Itu sih masih mending kalau tidak suka menggerutu di belakang, lha kalau masih suka?

Always,
@mkusmias yang masih masih dan masih belajar untuk berani

Ref: Hamka, Prof. Dr. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit. hal: 263.