“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana disebabkan kematian seseorang dan tidak pula kehidupannya, lalu, bila kalian melihat gerhana tersebut maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (H.R Bukhari)
Seakan keindahan
alam tak akan pernah habis meski waktu semakin menua. Meski umur alam sudah tak
lagi muda. Meski alam pun terkadang menampakkan sisi “geramnya” lewat
benca-bencana. Namun, kenampakan yang diperlihatkannya, seringnya tak pernah
membuat manusia luput untuk berkata “indah” dan memukau semua manusia yang
masih punya mata dan jiwa.
Di tengah
banyaknya bencana -entah itu bencana karena alam menampakkan cara-Nya untuk mengingatkan
manusia, atau bencana yang melanda moral manusia-, menuju pertengah Maret tahun
ini, Tuhan ijinkan alam untuk menunjukkan Kuasa-Nya.
“sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah."
Saya tak lagi
ingin mendetilkan peristiwa yang semua orang sepakat ini “karya” Tuhan yang
mempesona. Namun, kejadian dimana posisi matahari, bulan, dan bumi pas berada pada satu garis lurus ini, memaksa
kita untuk bertanya pada zat kecil bernama hati. Lalu, apabila ia terhubung
dengan ruh iman, ia seolah akan tertunduk sejenak seperti merunduknya tangkai padi
yang semakin berat memikul bijinya. Seperti bengkoknya batang bambu karena
semakin tinggi batangnya menjulang.
Hati, seolah
seperti itu juga, merunduk kerena tetiba ingat beratnya biji-biji dosa yang
seolah ia pikul di atas punggungnya, juga tetiba teringat beratnya siksa dari
Tuhannya untuk mengganjar setiap dosa.
Hati pun seolah seperti itu, tertunduk seperti bengkoknya bambu, karena tetiba teringat tingginya keangkuhan yang semakin menjulang di dalam jiwa. Ia lupa bahwa ketinggian yang ia rasa itu hanya semu. Ilusi yang harus segera ia sadarkan. Dan karya Tuhan ini sejenak membuat tersadar. Dan mudah-mudahan sadar ini tak pudar seiring gerhana yang lambat-lambat sudah hilang.
Sebuah refleksi, bahwa dahulu, rasulullah mendapati gerhana matahari -seperti yang kita ‘nikmati’ saat ini-, lalu ia bergegas ke masjid dan mengajak manusia untuk shalat. Perasaan takut mengetuk hati rasulullah yang suci. Takutnya rasulullah tentu tak sama dengan takutnya penduduk Yunani tempo dulu yang menganggap Dewa-Dewi mereka sedang marah besar. Pun takutnya rasulullah bukan seperti mitos masyarakat desa yang menganggap makhluk bernama Buto Ijo sedang melahap sang surya, lalu hilanglah cahaya.
Bukan, tertunduknya hati beliau yang mulia karena pikirannya semakin ia dekatkan pada Yang Menguasai Matahari. Lalu hatinya sadari akan Kekuasaan Allah, bahwa tiada Dzat yang mampu meletakkan matahari, bulan dan bumi jika bukan Allah. Itulah yang rasulullah inginkan juga dari kita yang menyaksikan kejadian yang rasulullah dulu juga saksikan. Memaknai gerhana ini sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah. Seolah, rasulullah menegaskan hadits ini agar hilang semua mitos yang terlanjur terbenam dalam pikiran manusia-manusia saat itu. “Jangan ada mitos lagi dan jangan percaya mitos”, kira-kira seperti itu.
Sebuah pemaknaan yang lebih eksotis dari pemandangan gerhana itu sendiri. Yaitu memaknainya dengan menambah pundi-pundi ganjaran ibadah. Berdoa, bertakbir, shalat, dan bersedekah. Inilah yang Allah kehendaki pada kita saat kita melihat fenomena lalu hati kita tertunduk yang akhirnya menggerakkan kita untuk menambah amal dunia yang pahalanya langgeng sampai akhirat.
Hati pun seolah seperti itu, tertunduk seperti bengkoknya bambu, karena tetiba teringat tingginya keangkuhan yang semakin menjulang di dalam jiwa. Ia lupa bahwa ketinggian yang ia rasa itu hanya semu. Ilusi yang harus segera ia sadarkan. Dan karya Tuhan ini sejenak membuat tersadar. Dan mudah-mudahan sadar ini tak pudar seiring gerhana yang lambat-lambat sudah hilang.
“Keduanya tidak mengalami gerhana disebabkan kematian seseorang dan tidak pula kehidupannya”
Sebuah refleksi, bahwa dahulu, rasulullah mendapati gerhana matahari -seperti yang kita ‘nikmati’ saat ini-, lalu ia bergegas ke masjid dan mengajak manusia untuk shalat. Perasaan takut mengetuk hati rasulullah yang suci. Takutnya rasulullah tentu tak sama dengan takutnya penduduk Yunani tempo dulu yang menganggap Dewa-Dewi mereka sedang marah besar. Pun takutnya rasulullah bukan seperti mitos masyarakat desa yang menganggap makhluk bernama Buto Ijo sedang melahap sang surya, lalu hilanglah cahaya.
Bukan, tertunduknya hati beliau yang mulia karena pikirannya semakin ia dekatkan pada Yang Menguasai Matahari. Lalu hatinya sadari akan Kekuasaan Allah, bahwa tiada Dzat yang mampu meletakkan matahari, bulan dan bumi jika bukan Allah. Itulah yang rasulullah inginkan juga dari kita yang menyaksikan kejadian yang rasulullah dulu juga saksikan. Memaknai gerhana ini sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah. Seolah, rasulullah menegaskan hadits ini agar hilang semua mitos yang terlanjur terbenam dalam pikiran manusia-manusia saat itu. “Jangan ada mitos lagi dan jangan percaya mitos”, kira-kira seperti itu.
“lalu, bila kalian melihat gerhana tersebut maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah”
Sebuah pemaknaan yang lebih eksotis dari pemandangan gerhana itu sendiri. Yaitu memaknainya dengan menambah pundi-pundi ganjaran ibadah. Berdoa, bertakbir, shalat, dan bersedekah. Inilah yang Allah kehendaki pada kita saat kita melihat fenomena lalu hati kita tertunduk yang akhirnya menggerakkan kita untuk menambah amal dunia yang pahalanya langgeng sampai akhirat.
Berdoalah,
mohonlah apapun kepada Allah yang menghendaki gerhana ini terjadi. Bertakbirlah
mengangungkan asma Allah. Shalatlah, sembahlah yang menciptakan matahari, bulan
dan bumi. Dan bersedekahlah, seolah rasulullah ingin mengingatkan kita bahwa
serajin-rajinnya kita beribadah, janganlah sampai kita lupa untuk menebar
manfaat. Ingat manusia-manusia yang miskin papa, lalu membantunya. Ingat kaum
yang tak berdaya lalu menolongnya. Agar kita tak lagi lupa bahwa makna sedekah
adalah amalan yang diperuntukkan pada Allah, namun manfaatnya untuk manusia. Artinya,
shalehlah di hadapan Allah, tanpa lupa tebarlah manfaat di sekitar manusia. Karena kadang, saat kita menjadi shalih kita merasa bahwa itu sudahlah cukup. "ah, yang penting aku shalih", kata hatinya. Cukup menjadi shalih di hadapan Allah saja, lalu tak sadar kita menjadi pribadi yang egois. Lalu lupa untuk ingat kepada sesama manusia, bahkan semakin menjauh dari manusia.
Keagungan Allah,
terhapusnya mitos, mensholihkan diri, dan menebar manfaat. Sebuah refleksi yang
merangkum empat makna dari kejadian alam bernama gerhana matahari. Mudah-mudahan,
hati kita mudah untuk selalu memahami dan merefleksi setiap peristiwa.
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang memahami(nya)” (QS: An-Nahl: 12)
salam baik,
@mkusmias yang ingin menjadi lebih baik