Seperti peribahasa “tak ada gading yang tak retak”, mengibaratkan bahwa tak ada yang selalu sempurna di dunia ini. Pun manusia. Meski pernyataan ini terkesan klise, namun kebenarannya masih saja selalu berlaku. Bahwa manusia memang tak ada yang selalu berbadan harum dan berbaju putih. Maksudnya, manusia memang tak ada yang bersih dari kesalahan dan dosa. Kita pernah, bahkan sering terlanjur berbuat dosa. Sadar atau tidak. Sengaja maupun ada niatnya.
ilustrasi

Di sana, ada sebuah tempat yang selalu tersebut dalam do'a, terucap di dalam pengharapan, menjadi ujung dari setiap permintaan, dan oleh jiwa selalu dirindukan. Benar, ia adalah surga, kampung halaman Adam dan keturunannya. Tempat asal manusia yang sebenarnya. Maka di sanalah seharusnya tempat kembalinya manusia.

Jika Allah adalah Dzat Yang Maha Kuat (Al-Qowiy), maka manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan keterbatasan, salah satunya kelemahan. Fitrahnya, manusia sesungguhnya memiliki kecenderungan untuk mengakui ketidakberdayaannya. Namun, tak semua manusia mau mengakuinya. Manusia-manusia yang terjebak dalam ketidak mauan untuk mengakui ketidak berdayaan mengakibatkan benih-benih kesombongan muncul dalam jiwanya. Maka sifat sombong bukanlah sifat yang terpuji dalam islam karena ia menafikkan fitrahnya akan ketidak mampuan. Bahkan Allah memberi sanksi keras untuk orang-orang yang sombong,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (H.R Muslim)

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Orang sombong yang menafikkan ketidakberdayaan akan jauh dari rasa bahagia. Ia menganggagap dirinya selalu kuat padahal lemah. Ia menganggap dirinya serba mampu padahal ada kalanya ia tak kuasa. Ia tak mau disebut lemah. Ia tak mau dianggap tak berdaya. Padahal, kebahagiaan hidup manusia justru muncul dari sisi ketidakberdayaannya. 

Misalnya, orang yang sedang merindu sebenarnya dalam situasi seseorang yang tidak mampu,  yaitu tidak mampu untuk bertemu. Ia ingin bertemu dengan orang yang dirinduinya namun ia tak mampu karena terpisah jarak dan waktu. Maka dalam kerinduannya itu ia dapatkan perasaan bahagia.

Seorang suami yang meninggalkan istrinya beberapa hari untuk suatu keperluan, misalnya. Pada dasarnya, ia mengalami kondisi tidak berdaya akhirnya berpisah dengan istrinya. Ketidakberdayaannya itulah memunculkan cinta yang luar biasa. Demikian juga yang terjadi pada sang istri.

Contoh lain, orang yang menangis bahagia adalah orang yang bahagia karena ketidakmampuannya. Ia bahagia lantaran baru saja bertemu. Ia bahagia karena dapat bertemu, dan menangis karena takut untuk berpisah kembali. Perasaan takut tak bertemu kembali ini muncul karena ia menyadari bahwa dirinya tak berdaya untuk selalu bertemu sepanjang waktu. Ini hal yang menarik. Maka, letak kebahagiaan seorang muslim yang hakiki adalah saat ia mengakui ketidakberdayaannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dia adalah Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuat. Allah adalah Dzat yang Maha Mampu. Sedangkan manusia tidak. Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa, sedangkan manusia tidak. Jika manusia benar-benar sadar akan hal ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang mudah melekat pada hatinya.

Allah menyuruh manusia untuk berdoa agar manusia ingat ketidak mampuannya. Ketika berdoa manusia memposisikan dirinya dalam keadaan tidak berdaya. Disitulah letak kebahagiaan hidup seorang hamba jika ia mau merenungi. Allah mengilhamkan kebahagiaan dalam relung jiwa orang-orang yang mau merendahkan diri di hadapan Allah dan menyadari ketidak berdayaannya. Allah mengilhamkan kebahagiaan dalam hidup hamba-hamba-Nya yang mau berdoa karena Allah akan mengabulkan do’anya jika ia mau meminta.

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Q.S Al-Mukmin : 60)

Lantaran ketidak berdayaan pula, manusia selalu bergantung pada Dzat yang Maha Berdaya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah yang Maha Kuat tak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya yang lemah.

“Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
(Q.S Al-Ikhlas : 2)

Maka, rendahlah diri kita dan akuilah bahwa kita tidak berdaya. Saat kita berdoa dalam keadaan mengakui bahwa diri kita tidak berdaya tanpa adanya kuasa Allah, maka disitulah letak kebahagiaan yang sejati.

Wallahu a’lam bishowwab






Datang dan pergi memang sudah menjadi pasangan abadi. Ketika “datang” telah ada, waktu pasti akan melaju hingga tiba giliran “pergi” menghampiri. Hampir lima tahun sudah, aku menjadi warga Jogja. Kuliah telah usai, kini tiba waktunya kembali pulang.

Ah, kenapa begitu berat meninggalkan kota ini.
Damin "merusuh" saat kami sedang menyiapkan salah satu program KKN 


Hampir satu tahun sudah aku mengenalnya. Rambutnya keriting, kulitnya hitam meski tak pekat, dan suaranya terdengar berat. Damin, namanya, bocah kecil yang kukenal di Kampung Fafanlap, Misool, Raja Ampat. Aku mengenalnya saat KKN di kampung yang kini selalu kukenang, Fafanlap.