Setiap jaman selalu memunculkan istilah unik yang menjadi kosa kata baru di kalangan khalayak ramai. Mungkin lidah menemukan lekukan baru pada mulut sehingga memunculkan gaya bahasa yang belum dikenal pada masa sebelumnya.

Suatu saat, as usual, ane berselancar di lautan maya melalui surfboard akun sosmed. Salah seorang teman yang saya sendiri juga tak begitu kenal dengannya, you know di dunia maya kita bisa “berteman” dengan seseorang yang kita sendiri tidak pernah tahu wajah dan wujudnya.

“ah kamu sih baper..”, ejeknya di kolom komentar. Di jejaring sos-med lain lagi-lagi ane menemui, “mungkin gue terlalu baper kali ya”, celoteh pengguna sebuah akun. Hari-hari itu memang lagi marak istilah ‘baper’.

Awalnya ane bertanya-tanya, Baper ki makanan opo sih jane? (read: Baper itu makanan apa sih sebenernya?). But, tidak terlalu lama, lalu ane tahu apa itu baper. Ealah,, baper ki kepanjangan dari ‘Bawa Perasaan’ tho. Hmmm.... anak muda jaman sekarang. Sebenarnya pada pinter-pinter, selalu bisa nemuin kosa kata baru.

Baper alias bawa perasaan selalu dikait-kaitkan saat seseorang terlalu sensitif menanggapi suatu kejadian/sikap/perkataan orang lain. Ya dikit-dikit sensitif gitu. Saat ada yang bilang, “eh ternyata kamu perhatian juga ya?”, trus baper sampe hatinya melambung tinggi. Saat dibilang, “mbok ya kamu itu kalau dateng agak pagian dikit kenapa, biar engga telat terus.” Lalu, nyalinya ciut di depan rekannya itu, baper sih. Saat kamu nyapa temen, tapi dasar nasib malah dicuekin, trus kamu jadi mrengut, sedih, kebingungan, gak enak mau basa-basi lagi. Baper sih. Hehe... nah situasi yang terakhir ini yang ane pengen cuap-cuap sedikit.

Dulu, duluuu banget, ane suka baper, alias bawa perasaan. Seringnya ane jadi engga enak kalau teman udah mulai gak nyahutin basa-basi ane. “si fulan ini kenapa ya? Kok kaku banget ya diajak ngobrol, kemarin-kemarin engga. Ane salah apa ya?”. Atau, “kok dia ngomongnya agak keras gitu sih sama gue. Jadi kepie banget deh.” Contoh lain, “dia tadi pas rapat kok kayaknya menjurus nyindir gue deh” dan baper-baper yang lain. Well, wajar sih ya tetiba kita suka mbatin begitu. Lepas dari bener atau salah persangkaan kita, ya wajar aja karena kita punya hati, punya perasaan. Nah itu sebabnya diistilahkan dengan ‘bawa-bawa perasaan’.  Ya secara, kita makhluk hidup bernama manusia, selain memiliki ciri-ciri bisa bergerak, bernafas, berkembang biak, memerlukan makanan, ekskresi, peka terhadap rangsang, tumbuh dan berkembang (udah kayak belajar biologi aja), selain 7 ciri-ciri itu kita juga punya tambahan satu ciri lagi, yaitu mempunyai perasaan. Mempunyai apa? Pe-ra-sa-an. Yap, perasaan.

Hanya saja, setelah kita suka baper dengan situasi-situasi yang kurang mengenakkan itu, seringnya kita jadi berubah sikap hanya karena menuruti persangkaan yang belum tentu bener. Nah sayangnya, kita lebih sering merubah sikap kita jadi lebih tidak mengenakkan lagi. Ya gak? Misalnya, hanya karena temen kita ngomongnya agak tinggian nadanya, lalu sesampainya di rumah kita jadi nangis sesenggukan di kamar, kamarnya dikunci pula. Hehe.. padahal mungkin aja temen kita itu lagi mau dapet tamu bulanannya, biasalah wanita, ada saatnya hormon di dalam tubuhnya merubah sikapnya. Hehe. Atau mungkin saja dia bukan meneriaki kita, tapi temen yang waktu itu duduk pas di sebelah kita. Nah lho baper sih..

Atau, yang awalnya kita ceria sekali dan pengen buat temen-temennya ikut ceria, hanya karena ada temen yang cuekin, lalu kita jadi ciut. Mak nyuttt, mendadak langsung jadi pendiam. Padahal bisa saja dia lagi penasaran sama hal lain, alhasil kurang memperhatikan kita. Nah lho baper sih. Sampe seringnya baper, salah satu temen ane sering bilang, ‘makanya jangan pake hati, hatinya ditinggal di kos aja”.

Dan ternyata, kalau kita perhatikan, baper yang buruk itu tidak jauh beda dari prasangka buruk, ya? Atau jangan-jangan persangkaan buruk itu yang bikin baper (?) entahlah. Yang jelas keduanya kurang baik. J

Nah ngomongin soal baper, saya jadi kepikiran, baper itu sebenarnya engga buruk-buruk amat kok. Asal ditempatkan pas pada tempatnya. Nah apa itu? Menurut ane, itu sama halnya dengan energi, akan jadi negatif kalau kita salah menempatkan. Sebaliknya, tentu akan bermanfaat saat menempatkan di tempat yang pas. Lha terus, kemana kita mesti menempatkan ‘baper’ ?

Baper, alias bawa perasaan sangat cucok alias cocok dihadirkan saat kita ‘ketemu’ dengan Sang Pencipta. Saat apa itu? Yaps, betul banget, saat kita beribadah dan mendekat pada Allah. Kira-kira begini, baperlah, bawalah perasaanmu saat kita bermunajat kepada Allah. Saat kita berdoa, baperlah dan munculkan rasa bersalah karena memang kita makhluk pendosa. Itulah sebaik-baik baper.


Saat berdoa pada Allah, baperlah, bawalah perasaanmu, karena kita khawatir jika doa kita tidak diijabah, dan baperlah dengan sangat-sangat berharap penuh keyakinan kalau Allah Maha Mengabulkan do’a.

Saat kita sholat, baperlah, bawalah perasaanmu seakan-akan Allah tepat berada di hadapan kita. Saat sholat, baperlah karena Allah Melihat gerakan kita sehingga muncul perasaan ihsan. Baperlah, bawalah perasaanmu saat kita diberi rejeki yang lebih berlimpah, sehingga kita ingat dengan saudara-saudara kita di bumi belahan lain yang kurang beruntung kehidupan dunianya, sehingga kita tergerak untuk mensedekahkan sebagian harta kita.

Baperlah, bawalah perasaanmu saat seseorang menasehati dengan nasehat yang mulia sehingga kita bisa merenung dan berfikir lalu menjadi lebih baik karena nasehatnya. Baperlah, bawalah perasaanmu saat kita berada di tengah-tengah anak-anak sehingga mereka merasakan kedamaian dan keriangan karena kehangatan dan kasih yang tercurah dari diri kita.

Baperlah, bawalah perasaanmu saat lisan kita mengucap kalimat-kalimat dzikir, sehingga kita begitu larut dalam pemaknaan dzikir kepada Allah itu. Dan baperlah, bawalah perasaanmu saat kita melakukan kebaikan, agar kita bisa merasakan makna yang begitu dalam di setiap kebaikan yang kita usahakan.


The last, baperlah saat kamu membaca postingan ini. :D, kalau belum ngrasa agak gimana gituh saat baca postingan ini, mungkin Anda belum baper (?). hehe... 


ilustrasi

Ada sebuah kekata yang berbunyi, “Penulis itu pekerjaan setiap saat. Saat ia tak menulis di atas lembaran putih, saat itu pula ia sedang menulis manusia.” Menulis manusia berarti mendidik manusia, mengajari manusia, sehingga di dalam manusia didikannya itu tertanam nilai-nilai yang telah diajarkan oleh sang ‘penulis’. Karena sungguh, menulis di atas lembaran putih ataupun menulis manusia sama-sama penting. Sekali lagi, PENTING!

Ngomong-ngomong soal menulis manusia atau mendidik manusia, saya inget kisah ini. Di salah satu kesempatan saya mengajar, ada salah satu siswa berkomentar, “Us, itu gak penting dihapalin, Us. Gak ditanya malaikat kok nanti.” Kira-kira begitu tanggapan siswa berpostur agak gemuk bernama,,, sebut saja Jaguar, bukan nama sebenarnya. :D. Saat itu saya mengajar Biologi Bab Klasifikasi Makhluk Hidup. Yah, namanya juga klasifikasi, pastinya nyebutin nama-nama ilmiah tanaman dan hewan, yang nama-namanya bikin lidah sering kepleset saking susahnya disebutin. (Xixixi). Saya bertanya-tanya, kok bisa ya anak-anak masih berfikir seperti itu, apalagi beberapa temen-temennya meng-iya-kan perkataan Jaguar, "iya Us... gak penting kok." Saya berasumsi, kecil kemungkinan  anak-anak ini bisa berfikir seperti itu 'sendiri'. Tentu buah pikiran seperti itu bisa jadi berasal dari pola pikir keluarga, atau bahkan sistem yang berada di sekolah tempat mereka menimba ilmu? Karena, sistem entah di keluarga ataupun sekolah pasti akan melahirkan minded yang akan diikuti. Lalu saya bertanya-tanya, adakah yang salah dari pola pikir bawaan keluarga, atau mind set dari sekolah?

ilustrasi

Dalam hati sebenernya mau nimpalin, “ya keles kayak gitu ditanyain malaikat di alam barzah ntar . kaga ade ceritanya nak...”. Untung ane masih sadar kalau ane disebut guru di kelas itu. Jadinya masih inget kudu bilang, “iya sholih, malaikat ntar gak nanya kamu Homo sapiens atau bukan. Tapi dari sini kita kudu bisa berfikir, dari Ilmu Biologi yang sekarang kita pelajari ini bisa mengenal Allah apa engga? Trus, kita bisa manfaatin apa dari belajar Biologi? Jadi ilmu dunia itu juga perlu dipelajari ya sholih, agar bisa diambil manfaatnya. Kalau ntar jadi peneliti kan bagus kalau bisa jadi peneliti yang selain pinter tapi juga hafidz. Kalau ntar jadi dokter, kan bagus kalau dokternya selain pinter juga sholih. Insyaa Allah malah jadi sarana ber?? Ber apa? Berdakwah.... Kalau di tempat kita banyak dokter yang hafidz, banyak insinyur yang dekat sama Allah, akuntan yang sholih, ujung-ujungnya siapa yang diuntungkan? Kan kita sendiri.”

Oke, ngomong-ngomong soal sekolah, sekarang alhamdulillah sudah banyak berdiri sekolah-sekolah Islam Terpadu, sering disingkat ITe. Sekolah IT bisa jadi adalah sebuah alternatif kalau kita ragu memasukkan anak-anak ke sekolah negeri, kalau kita mengkhawatirkan asupan keagamaan di sekolah negeri yang masih minim. Atau jika beranggapan bahwa sekolah negeri lebih banyak mengadopsi sistem sekolah sekuler. Sekolah IT memang seharusnya menjadi alternatif. Dan seharusnya kita memang kudu berbangga karena sekolah-sekolah IT semakin menjamur di negeri ini. Itu artinya, banyak kaum muslimin yang semakin bersemangat untuk menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dan kultur keagamaan melalui sekolah formal. Bahasa Muhammadiyyah-nya; berkemajuan.

Tapi sangat disayangkan, jika niatan itu terkesan setengah-setengah, belum sepenuh hati. Misalnya fenomena anak yang masih berfikir seperti penggalan kisah saya saat mengajar seperti di atas. Nampaknya masih ada yang perlu dikoreksi dari sistem sekolah IT. Yeah, may be,....

Jika ‘keberatan’ dengan sistem sekolah negeri yang dinilai sekuler, karena memisahkan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan umum, seharusnya sekolah IT memang benar-benar menjadi alternatif sekolah yang tidak terkesan seperti sekolah sekuler. Toh ‘Islam Terpadu’ yang disematkan dibelakang nama sekolah itu sendiri bermakna menyatu-padukan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum agar diilmui secara menyatu, berkesinambungan, berkaitan, tidak terpisah-pisah, dan tidak sekuler.

Saya khawatir, jika pada prakteknya, kita sebagai orang tua ataupun guru, masih menganggap ilmu pengetahuan umum itu tidak penting lalu berkata kepada anak-anak atau murid-murid kita, ‘anak-anak, ilmu umum gak usah diseriusin gak papa, itu gak penting, nanti gak ditanya malaikat di alam kubur. Yang penting bisa baca dan hafal qur’an aja.” Mmmm.... Selain sedih jika masih ada yang bertutur begitu, saya juga khawatir. Tentu saya sedih, seolah saya jadi ciut, karena basik saya di bidang ilmu eksak. Gelar saya bukan Sarjana Agama. Pun saya khawatir, jangan-jangan kita belum sepenuh hati membangun sekolah dengan label Islam Terpadu. Saya juga khawatir, selama ini kita sering menilai sekolah negeri itu sekuler, jangan-jangan kita sendiri juga bisa dinilai sekuler tanpa sadar, karena menganggap ilmu pengetahuan umum tak penting dipelajari dan tidak ada manfaatnya untuk Islam, atau setidaknya memandang sebelah mata ilmu pengetahuan umum sehingga terkesan masih memberi sekat antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Bukankah itu sama-sama sekuler? Sama-sama memisahkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Lalu, untuk apa ikut ‘latah’ bahu membahu mensukseskan sekolah islam terpadu jika tak konsisten antara nama dan tujuan? untuk apa? :) #kalem

Sebagai orang tua ataupun guru yang baik pasti setuju bahwa semua ilmu itu bisa bermanfaat. Jika saat ini belum banyak yang menyuarakan dan membuktikan manfaat ilmu pengetahuan umum untuk islam, bukan berarti tidak ada manfaatnya. Mungkin kita sendiri sebagai orang tua ataupun guru belum berhasil menjelaskan dan memahamkan anak bahwa semua ilmu itu sama-sama penting dan memiliki banyak manfaat. Ilmu dunia penting dicari, sedangkan ilmu agama penting dipelajari. Karena pada hakikatnya, ilmu itu milik Allah. Sedangkan peran kita adalah mempelajari dan memanfaatkan ilmu yang kita miliki semampu yang kita bisa. Bukan begitu?

Ibarat pisau, ilmu itu tergantung siapa pemiliknya, bukan? Jika pemiliknya adalah good person tentu pisau itu akan menjadi manfaat yang berlimpah, at least buat ngrajang bawang di dapur. Sebaliknya, jika pemiliknya seorang preman, tentu pisau akan dipakai untuk berbuat kejahatan, minimal buat malak. Hehe.

Jadi, jika kita adalah pihak yang ingin memberikan alternatif pendidikan berupa sekolah IT alias Islam Terpadu, maka sebaiknya kita mengembalikan makna IT itu sebagaimana khitohnya. Tidak mendiskreditkan ilmu pengetahuan umum, pun juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Toh saya yakin, kita semua sedang mengusahakan yang terbaik untuk agama yang mulia ini dan untuk generasi penerus kita di negeri ini. Meski kadang kita sering lupa main purpose yang kita perjuangkan. Bukankah kita kudu saling mengingatkan? :) Anggap saja dengan ini saya sedang bercermin karena toh kenyataannya saat ini saya juga terlibat di dalam instansi pendidikan berbasis islam terpadu itu. Juga, anggap saja cermin yang saya pakai itu adalah cermin yang lebar binggo alias gede banget, bisa dipakai nyermin berjama’ah. Anggap saja saya juga sedang mengingatkan kembali khitoh pendidikan untuk muslim yang ideal, meski saya belum begitu expert bidang pendidikan. Ini sebatas yang baru bisa saya pikirkan dan ketahui. So, jangan takut jika ada yang mengoreksi. Semua akan baik-baik saja jika masing-masing niatnya memang untuk menjadi lebih baik.

The last, saya ingat betul yang disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “pendidikan tidak hanya mencetak orang-orang baik. Lebih tinggi lagi, pendidikan mencetak orang baik yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan ilmunya bisa bermanfaat untuk agama maupun untuk orang lain.”

Wallahu a'lam.

al-faqir ilallah,
@mkusmias dengan teh hangatnya





Hal yang paling membahagiakan dalam hidup ini adalah saat Allah selalu mengurus kehidupan kita. Sungguh membahagiakan apabila Allah selalu hadir dalam masalah-masalah kita dan membawakan kemudahan untuk kita. Sangat menentramkan apabila Allah menjamin kesejahteraan kita. Allah menjamin rejeki kita. Allah mengurus keperluan kita. Dan yang tak kalah penting adalah, Allah selalu mencukupkan keperluan kita. Dalam sebuah ayat Allah berfirman,

"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Dialah orang-orang tawakal yang Allah urus hidupnya. Ya, tawakal adalah kunci agar Allah datangkan pertolongan-Nya. Tawakal adalah ketentuan yang harus ada pada diri seorang mukmin agar Allah selalu membersamai hidupnya. Tawakal akan datang dalam diri jika iman sudah bersemayam dalam jiwa.

 … dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).

Dengan bertawakal, bukan hanya Allah akan memudahkan urusan seorang hamba yang mukmin. Namun, Allah akan menutupi dari kesusahannya, serta memelihara dari kejahatan manusia serta melindunginya. Seperti mudahnya Allah melindungi rasulullah saw dari makar Bani Nadhir yang hendak memberi celaka pada diri rasulullah saw. Allah melindungi Rasullullah saw karena Rasulullah telah tawakal sepenuhnya kepada Allah Dzat Yang Maha Melindungi.

Dengan tawakal yang bersemayam dalam dada seorang mukmin, tak ada sesuatu di dunia ini yang membuat resah hati. Tak ada sesuatu yang membuat gundah diri. Tak akan ada. Hati tak akan resah jika jodoh belum bertemu. Tak kan gundah jika rejeki banyaknya hanya segitu. Karena orang-orang yang takut dengan rejeki, takut tak bertemu jodoh, takut tak punya anak, takut banyak anak, takut tak bisa makan, takut tak berkuasa, takut akan hal-hal yang belum didapat di dunia, sesungguhnya ia bukannya kurang apa-apa, hanya kurang iman dan tawakal yang tumbuh dalam dadanya.

Orang yang sibuk memikirkan dunia hingga menyita pikiran, ia tak akan mendapat apa-apa kecuali lelah, penat dan, stress semata. Kenapa bisa stress? Karena ada tambatan lain selain Allah Shubhanahu wa Ta’ala. Karena ada tandingan lain di dalam hatinya selain Allah Yang Maha Perkasa. Hidupnya jadi tak terurus karena Allah berpaling darinya. Allah jauhkan ketenangan jiwa krn ia menduakan Allah dalam hatinya. Allah memalingkannya dari keberkahan hidup karena ia tinggalkan tawakal. Hingga Allah akan memalingkan hatinya dari sakinah. Hidupnya semakin sulit, semakin jauh dari Allah. Penyebabnya ialah ia tinggalkan tawakal pada Allah. Ia masih menyandarkan hidupnya kepada selain Allah.

Oleh karenanya, jika kita ingin diurus oleh Allah, dimudahkan urusan kita, dicukupkan keperluannya, dihindarkan marabahaya, maka kuncinya satu, yaitu tawakal. Tentang tawakal, jangan sampai pemahaman kita terpental. Tawakal itu bukan hanya pasrah tanpa usaha. Tawakal pun bukan berarti pasrah setelah berusaha. Karena hakikatnya, tawakal itu bukan hanya dipenghujung cara. Namun tawakal itu bergantung pada Allah sepanjang cara menjalankan asa. Tawakal ialah milik orang-orang yang sungguh-sungguh ikhtiarnya. Lihatlah bagaimana Hajar ibunda Ismail yang ditinggalkan suaminya, Ibrahim, di lembah baka. Tak ada pohon, tak ada orang. Hajar berlari-lari antara Shofa-Marwa hingga 7 kali. Hajar sungguh-sungguh berikhtiar kepada Allah dan Allah mengucurkan mata air di bawah kaki Ismail.

Begitu pun teladan dari orang yang paling tawakal, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum hijrah, ia shalallahu ‘alaihi wa sallam atur strategi terlebih dahulu. Saat perang Uhud, rasulullah tak meninggalkan musyawarah, memakai baju lapis besi, dan mengatur pasukan. Padahal rasul tahu bahwa tak kan ada luka di tubuhnya kecuali atas ijin Allah. Begitulah tawakal yang telah diajarkan. Dengannya (tawakal) Allah memudahkan urusan kita. Dengannya, Allah jauhkan kita dari bahaya. Dan karenanya (tawakal) Allah mengurus kehidupan kita.


Wallahu a’lam bishowab.