Urip Iku (Kudu) Urup

, , No Comments


Entah mau sampai kapan saya terus-terusan membiarkan si lepi-delli tak lagi cenunak-cenunuk keyboardnya hingga tersusun dan terisi sebaris dua baris demi mengisi hampanya ruang blog. (Ruang hampa-hatinya yang nulis kapan diisi? #eaakkk). Si lepi-delli kudu dipaksa biar terbiasa keyboarnya cetak cetuk lagi. Biar blognya tak berdebu lagi. Biar hati kembali bersorak, “yes, iso curhat nang blog meneh”. #huehehe. Oh ya, maapken ya jika terdapat istilah-istilah aneh. Somehow, dalam beberapa tahun belakangan ini saya sering menamai beberapa benda milik pribadi. Misalnya saja, motor Supra merah, saya beri nama Si Supri (jadi selama ini, “Supri” yang nemenin kemana-mana itu maksudnya Supra merah tho? Yes. That’s rigt. Haha). Sampai leptop hitam, saya beri nama Si Lepi-Delli, atau kadang Si Delli. Tentu karena mereknya D*ll. Entah kebiasaan ini muncul sejak kapan. Yang pasti, bukan sejak ladang gandum berubah menjadi kokokrans. Haha.

Kemarin hari, ada anak sebelah yang maen ke rumah dan minta diajarin menyelesaikan Pekerjaan Rumah-nya (PR dari sekolah tentunya. Alhamdulillah yah, sudah paham kalau PR itu pekerjaan rumah, yang maknanya kudu dikerjakan di rumah. Bodo amat deh mau dikerjakan di rumahnya sendiri, di rumah neneknya, atau bahkan kalau perlu dateng dan ngerjain di rumah gue. Yang penting kan di rumah. Titik. Hehe #abaikan kalo garing.haha). Bocah gendhut (yang kadang saia ngiri kok bisa gendhut gitu, sedangkan saia, makan udah hobi tapi berat badan enggak pernah mendaki (baca: naik) #wuehehe) sedikit kesulitan mengerjakan PR menuliskan beberapa kalimat ke dalam aksara Jawa. Huaduh. Rasanya pengen tutup muka. Bagaimana tidak, sesaat saya langsung melihat ke dalam diri sendiri dan sesumbar, “Duh, wong njowo sing wis ilang jawane, kui yo aku iki”. Orang Jawa yang sudah hilang Jawanya, ya aku ini. Dengan kekuatan cahaya bulan pikiran yang mengingat-ingat satu demi satu aksara Jawa, singkat cerita, PR-nya bisa terselesaikan dengan khusnul khatimah alias akhir yang baik. #yei.

Mengingat-ingat Bahasa Jawa, saya malah teringat dengan pepatah Jawa. Yeah, meskipun belajar Bahasa Jawa kadang membuat diri bergumam “iyuh” dan serasa menjadi kuno, lama-lama saya pikir ada hal-hal yang masih berlaku-baik juga dari ‘kekuno-an’ pelajaran Bahasa Jawa. Misalnya saja, kekata “Urip Iku Urup”. “Urip” berarti hidup, “iku” berarti itu, dan “urup” berarti menyala (atau berarti “hidup” juga). Jika diterjemahkan secara harfiah berarti “Hidup Itu Menyala”.

Satu pepatah Jawa ini sekonyong-konyong koder membuat hatiku berlomba jadi mak jegagik. Kalau kita mau meresapi sari pati kekata ini, niscaya akan kita dapati hal mulia yang terkandung di dalamnya, wahai teman-teman yang dirahmati Allah. Ternyata, dari zaman dahulu, saat tiwul masih menjadi makanan terlezat, hingga zaman sekarang yang terdengar kabar gembira bahwa manggis kini telah ada ekstraknya, banyak petuah-petuah Jawa yang tidak ada salahnya kita teladani. Contohnya ya petuah yang satu ini.

Urip iku urup. Bermakna, hidup itu menyala; memberi cahaya untuk lingkungan sekitar. Urip iku yo urup, hidup itu ya memberi manfaat untuk orang lain. Menyala untuk menerangi kegelapan, dan memberi terang agar tak ada lagi yang tersesat mencari arah jalan pulang. Urip iku kudu urup. Tak jaman lagi hidup hanya mementingkan diri sendiri. Masalah-masalah tak akan bisa selesai hanya dengan sikap yang hanya bisa “mengutuki” tanpa berbuat sesuatu yang memberi arti, bukan? Urip iku sejatine gowo manfaat kanggo wong urip liyane. Translate: hidup itu sejatinya membawa manfaat untuk orang hidup yang lain.

Lho lha iya, kecuali kalau dulu sejak dalam kandungan, kita tak bergantung pada orang lain (ibu) dalam hal mendapatkan makanan. Kecuali bila dulu kita bisa terlahir begitu saja tanpa turun tangan para bidan yang cantik dan bahkan dokter yang baik. Kecuali jika sejak dari dulu kita bisa langsung berjalan tanpa perlu belajar tertatih terlebih dahulu dan ditatih ibu dan bapak. Kecuali apabila sejak dulu kita bisa mandi sendiri dan memakai baju sendiri tanpa ada uluran lembut tangan mama. Kecuali jika sejak dulu kita bisa langsung pintar membaca-menulis tanpa diajari oleh orang tua dan bapak-ibu guru yang terhormat di sekolah. Kecuali jika kita bisa merakit kendaraan sendiri, mengebor bumi sampai dapat bensin sendiri. Kecuali jika nasi yang kita makan, padinya kita tanam sendiri, kita panen sendiri, sampai kita selep dan masak sendiri berasnya. Kecuali kalau sejak dulu tidak ada orang lain yang terlibat dalam hidup kita. Kecuali itu semua, maka boleh lah kalau mau jadi egois. Egois lah. Egois saja, sok atuh. Namun nyatanya, selalu ada orang lain yang hidupnya tidak untuk diri mereka sendiri. Hidup-hidup mereka selalu bersinggungan dengan hidup kita.

Hidup ini rantai ketergantungan. Satu sama lain salin tersulam dan membutuhkan. “Karena manusia makhluk sosial,” begitu kata guru IPS dulu. “Jadi tolong diingat, hidupmu bukan untuk dirimu saja”, begitu kesimpulan emas dari abang Neji Hyuga.

Hidup itu seharusnya ya “hidup”, menyala. Menyala semangatnya, menyala kepekaannya, menyala rasa pedulinya, dan sejuta makna menyala lainnya. Hanya agar, pribadi ini tak lagi menjadi pribadi paling egois di dunia. Insan yang hanya berpikir “yang penting aku” kaya, “yang penting aku” bahagia, “yang penting aku” selamat, dan “yang penting aku” lainnya.

Lebih lagi, bagi rekan-rekan yang notabene rajin sekali ngaji dan tholabul ‘ilmi. Jangan donks sampai menjadi pribadi yang paling rajin mengaji, paling rajin tholabul ilmi, paling sholih sedunia, tapi menjadi paling apatis juga sejagat raya. Kan jadi lunyu, eh lucu. Seolah-olah, agama dan kepercayaannya masing-masing itu mengajari untuk menggapai setinggi-tingginya langit, tapi amnesia bahwa ia masih saja menginjak bumi. Tentu paling baik adalah bersikap pertengahan. Lho katanya agama ini agama pertengahan? Tentu dalam bersikap juga mesti pertengahan, bukan, kawans? Yakni, menyulam pahala hingga menganak-tangga dan melangit tinggi, dan tetap memberi jejak kebermanfaatan di bumi. Tentu agama kita tidak pernah mengajari kita menjadi pribadi yang egois, kan, temans? Yang hanya “menggapai” langit, namun lupa kita ini masih berada di dunia dan kaki masih menapak di atas bumi. Tidak. Lebih lagi Islam, tak seegois itu. Pikiran haruslah melangit tinggi, tetapi jiwa tetap harus down to earth.

Maka, urip iku kudu urup. Hidup itu kudu menyala, memberi arti di setiap sisi. Duh, bukan berarti saya sudah menjadi orang paling bermanfaat sealam raya. Belum. Belum sama sekali. Saya masih saja merasa hanya butiran debu, remukan rempeyek, yang masih apalah-apalah itu (#drama banget). Tentu, petuah ini saya sampaikan untuk diri sendiri yang masih apalah-apalah ini. Hanya agar, mau bergegas menjadi lentera dan mulai menyalakan hidupnya sendiri, syukur-syukur hidup orang lain. Tak lagi leyeh-leyeh di “kursi” nyamannya, “berbaring-baring santai” di kasur empuknya, dan berleha-leha di zona nyamannya.

Tentu, yang pertama dan paling utama, petuah ini saya sampaikan untuk diri saya sendiri. Hanya untuk menggerakkan mata agar mau melihat sekitar, menggerakkan tangan untuk membantu yang membutuhkan, menggerakkan kaki agar mau mendatangi orang lain meski hanya untuk bersilaturahmi, dan menggerakkan hati agar sudi ikut mendoakan kebaikan banyak orang. Hanya agar diri menjadi orang yang tersebut oleh rasulullah sebagaimana, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain”. Urip iku urup. Maka, menyala-lah dan bersinarlah terus sampai nanti. Tulisan ini ku akhiri.

Mudah-mudahan, Allah mengampuni kita yang masih apalah ini, menjadikan pikiran kita melangit, dan hati kita membumi.

With love,
@mkusmias yang masih belajar untuk menyalakan hidupnya

0 komentar:

Post a Comment