Judul : Seteru 1 Guru. Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto:
Soekarno, Musso, Kartosoewirjo
Penulis : Haris Priyatna
Penerbit : Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka)
Cetakan ke : 1
Tahun : April 2015
Tebal : 243 hal
Genre : Novel sejarah
“Anak-anak, aku bangga pada kalian. Semoga kalian
kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini. Tapi ingat, bersatu, jangan
cerai-berai. Sekali lagi ingatlah kekuatan sapu lidi. Jika lidi-lidi itu
disatukan, maka menjadi kuat, susah untuk dipatahkan. Tapi, ambil sebatang lidi
maka gampang sekali kau bisa mematahkannya.” (Tjokroaminoto, hal. 104)
Bangsa ini memiliki banyak pejuang yang perlahan ingin melepaskan
belenggu dari rantai penjajahan. Tiga diantaranya ialah Soekarno, Musso, dan
Kartosoewirjo. Nama yang pertama tentu yang paling umum kita dengar dan kenal.
Sebab hanya satu nama itu yang paling sering ditulis dalam buku-buku pelajaran
sejak kita masih ingusan baheula. Kedua
nama selanjutnya jarang kita dengar kecuali sangat terbatas. Jika nama Soekarno
selalu diistilahkan dengan nama “pahlawan” yang sesungguhnya, Musso dan Kartosoewirjo
sering didekatkan dengan istilah “pemberontak” dan “musuh” yang harus ditumpas.
Sejarah bangsa ini ditulis begitu hitam-putih. Namun novel ini menyajikan gambaran
sejarah yang dinarasikan secara apik sehingga pembaca tak hanya memandang hanya
ada dua warna hitam dan putih yang mewarnai jejak sejarah bangsa.
Novel berlatar sejarah pra dan pasca revolusi ini terdiri dari
tiga bagian. Bagian pertama Kemelut,
berisi tentang ketiga tokoh yang terlibat dalam geliat pergerakan pribumi untuk
memberontak penjajah. Bagian kedua, Internaat
(Asrama), bercerita tentang kehidupan Kusno (panggilan Soekarno saat kecil),
Musso, dan Kartosoewirjo yang indekos di Peneleh VII, Surabaya. Di sana, Pak
Tjokro menjadi bapak kos sekaligus guru bagi ketiganya semasa muda. Di kos Peneleh
VII inilah mereka dipertemukan, lalu bersahabat, kemudian bersama-sama berguru
kepada Tjokroaminoto.
Di Peneleh VII inilah juga pertama kali Soekarno membaca
buku-buku tentang revolusi yang dipinjami Pak Tjokro. Kusno yang pengagum
Tjokro itu belajar berpidato dari cara Pak Tjipto berpidato. Begitu pula Musso, dari kos ini ia mulai mengenal Oom Sneevliet. Tak ketinggalan Karto, yang juga
mengagumi Pak Tjokro hingga menjabat sebagai sekretaris Sarekat Islam.
Di rumah Tjokro kerap didatangai orang-orang penting Sarekat
Islam. Ketiganya juga sering mengikutsertakan diri ke dalam kegiatan SI. Tak
ayal semangat perjuangan aktivis SI menular pada mereka. Tjokroaminoto yang
seorang pimpinan Sarekat Islam itu mengenalkan politik, cinta tanah air, organisasi
dan Islam kepada anak-anak yang indekos di tempatnya.
|
Halaman kiri : foto Stasiun Semut Surabaya (atas) dan kantor pos tempat Musso pernah bekerja (bawah). Halaman kanan: foto rumah Tjokroaminoto |
Bagian ketiga Kulminasi,
yang menjadi titik klimaks pergulatan ideologi dari ketiga tokoh kita ini. Meski pernah seatap dan seguru, Karno, Musso, dan Karto pada akhirnya
berpisah di persimpangan ideologi yang saling berbeda. Karno memilih jalan sebagai
seorang nasionalis. Nasionalisme-nya menjadi ideologi yang pada akhirnya
dipakai sebagai pijakan bangsa Indonesia hingga kini. Pada awalnya, Karno
mengikuti ideologi Tjokroaminoto, guru yang pernah menjadi mertuanya tersebut.
Namun menurut Karno, pandangan Tjokro tentang kemerdekaan tanah air terasa kaku
dan sempit karena ditinjau melalui konsep mikroskop Islam. Bangsa pada masa itu
membutuhkan wadah yang lebih besar daripada Islam untuk bisa membangkitkan
seluruh unsur bangsa ini (hal 166). Sedangkan Musso memilih jalan komunisme, paham yang ia bawa dari
Moskow. Lalu Karto menganut paham Islam radikal.
Persimpangan inilah yang menarik bagi saya. Sahabat satu atap,
satu guru, bahkan satu nasib selama “nunut” di kos-kosan pak Tjipto selama
masih sekolah. Namun mereka menemukan kecenderungan hati dan pemikiran yang
saling berbeda satu sama lain. Hingga akhirnya saling berpisah di persimpangan ideologi yang berbeda.
Membaca novel ini, membikin saya berfikir bahwa tak ada satu hal
pun yang tak meminta pengorbanan. Ideologi sekalipun. Musso dengan pendirian
komunisme yang ingin mengubah haluan negara bangsa ini harus melakukan
perjuangan menurut versinya hingga mempertaruhkan nyawanya sendiri. Menurutnya,
bangsa ini tak kan bisa maju di bawah kepemimpinan kaum borjuis. Sebaliknya,
kemajuan bangsa bisa dicapai dari kekuatan kalangan bawah, kaum proleter. Paham
komunisme akhirnya diberantas. Musso diburu dan tertembak oleh tentara Republik
setelah tragedi Madiun 1948.
|
Halaman kiri : Foto Amir Syarifudin. Halaman kanan : Peta pelarian PKI dari Madiun (atas) dan Musso tewas tertembak (bawah) |
Sama seperti Musso, Karto pun memiliki pandangan sendiri tentang
haluan yang seharusnya dipakai bangsa ini. Ia menggagas Negara Islam Indonesia.
Gagasan ini berawal dari kekecewaannya terhadap perjanjian Roem-Royen.
Menurutnya, perjanjian itu telah menjual Indonesia dan menimbulkan kekosongan kekuasaan di
Indonesia. Bagi Karto, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung
jawab saat itu. Saat Hatta berangkat ke Den Haag untuk menghadiri Konferensi
Meja Bundar, itulah saat yang tepat menurut Karto untuk membacakan maklumat
berdirinya Negara Islam Indonesia. Gagasan ini pun dianggap ancaman bagi
Republik. Karto dan pasukannya diburu. Pada akhirnya Karto ditangkap di
gubuknya yang berada sekitar Gunung Geber Majalaya setelah sebelumnya
bersembunyi di gunung-gunung di Jawa Barat. Lalu, Karto mendapat vonis hukuman
mati atas tiga dakwaan: berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang
sah, dan upaya pembunuhan Presiden Soekarno (hal 240). Hati Pak Karno bergejolak kala harus
menandatangani surat eksekusi mati untuk Karto. Bagaimana pun, Karto adalah senior sekaligus sahabat Kusno semasa tinggal di Peneleh VII dahulu. Di bagian ini, seolah saya bisa
merasakan bagaimana pergulatan hati Pak Karno. Coba bayangkan! Jika kita punya
teman yang dulu pernah satu atap, suka duka seirama menjadi anak kosan. Dan
akhirnya rekan kita harus mati dieksekusi dengan surat yang kita tandatangani, yang
salah satu alasannya karena dia berusaha membunuh kita. *ikut mbrebes mimbik-mimbik
Tapi ya begitulah. Tak ada hal yang menjadi pasti. Persahabatan
sekalipun. Sekarang menjadi sahabat, belum pasti esok tetap sahabat. Pun
sebaliknya. Sebab kita bukan pengendali orang lain. Kita tak punya remote
kontrol untuk mengendalikan isi kepala seseorang, juga hatinya. Betapa kita ini
harus insaf betul bahwa yang kekal hanya Allah. Maka kepada Dia-lah kita
bergantung. Bukan pada manusia, sebaik apapun ia.
Di novel ini, tokoh Karno lebih banyak
diceritakan kisah hidupnya dibanding Musso atau pun Karto, hal yang membuat
sedikit sedih (#hiks). Seperti kisah Karto yang menikahi putri Tjokro, Oetari.
Lalu Soekarno yang melanjutkan sekolah di Bandung hingga akhirnya Oetari
dikembalikan ke Pak Tjipto secara baik-baik. Tak ada kisah mendalam semacam ini
tentang Musso dan Karto.
Tentang kebengisan PKI, tak luput juga
diceritakan dalam novel ini. Barisan warok Ponorogo (PKI) melakukan pembantaian
setelah Madiun kala itu ditaklukan. Bahkan dimana saja ada orang Masyumi, PNI,
atau orang yang mencurigakan, tanpa banyak cincong
langsung mereka dor, lalu lehernya
ditebas dengan kelewang. Tak ada yang berani mengangkat mayatnya hingga
berhari-hari (Hal 203). Saat pelarian PKI dari Madiun, para pengawal barisan
sering kali besikap bengis. Mereka tanpa segan membunuh setiap yang terjatuh
karena kelelahan, sakit atau yang berusaha lari. (Hal 212) #syerem
Secara keseluruhan, saya suka cara penulis
menceritakan sejarah melalui novel ini. Apalagi, kisahnya nyata dan benar ada.
Apalagi, kisah itu dialami oleh para pejuang pembebasan bangsa ini. Novel ini
semakin apik dengan ditampilkannya beberapa foto; Soekarno, Musso, dan
Kartosoewirjo, Amir Syarifudin, A. H Nasution, dan Semaon. Selain itu ada juga
beberapa potret Stasiun Semut kala dulu, kantor pos Surabaya tempat kerja
Musso, Rumah Pak Tjokro di Peneleh VII, peta pelarian PKI dari Madiun, dan teks
proklamasi NII.
|
Halaman kiri: foto Semaoen. Halaman kanan: foto sekolah Soekarno, Musso, dan Karto |
Sayangnya, foto-foto tersebut diletakkan di halaman tengah buku, yang sedikit mengganggu saat membaca cerita dalam novel. Sebetulnya, foto-foto ini akan makin epik jika diletakkan di
halaman paling belakang, setelah novel selesai diceritakan. (
kayak buku “Ayah”-nya Irfan Hamka yang
menuliskan tentang sosok ayahnya, Hamka. Di dalam buku itu
kan disertakan foto-foto Prof. Hamka di halaman akhir.)
|
Halaman kiri: teks proklamasi NII. Halaman kanan: foto Kartosoewirjo menjelang eksekusi mati |
Setelah membaca novel ini, kok
ya ada perasaan sedikit kecewa. Kenapa tidak dari dulu membaca buku semacam
ini?! Sejarah kita, seringnya dikemas dengan sangat kaku di buku-buku paket SD
hingga SMA. Seolah hanya ada warna hitam dan putih. Padahal sejarah bisa
diceritakan kepada anak bangsa lewat novel menarik yang tidak meninggalkan esensinya
semisal ini. Novel ini membuat saya menyadari, bahwa ada banyak pusaran ide
yang ikut membentuk bangsa ini. Juga satu hal yang menarik menjadi kontemplasi
(#halah). Bahwa sungguh berbeda polemik politik masa pergerakan dulu dengan
sekarang. Dahulu, para tokoh berkonflik karena perbedaan visi yang melahirkan
kemerdekaan. Sedangkan sekarang, politisi bertikai untuk kepentingan pribadi
yang hanya menghasilkan pengurasan. #hiks
Dan novel ini diakhiri dengan perkataan Harun (ini juga menjadi salah satu point yang saya suka dari novel Seteru 1 Guru), anggota SI yang
juga pengusaha batik dari Solo, “Tapi,
yang pasti mereka semua mewarisi satu hal dari Pak Tjokro, sifat yang keras.”
“dan
mereka bertiga memiliki cita-cita yang sama: Indonesia yang merdeka, berdaulat,
adil, dan sejahtera. Andai mereka saling bekerja sama –menyatupadukan
kecerdasan, keberanian, dan kekuatan mereka sambil mengesampingkan perbedaan-
seperti yang diharapkan pak Tjokro.” (hal 243)
Dan lagi, saya mendapat perenungan. Bahwa begitulah seharusnya kita, yang saat ini sangat mudah dibenturkan dengan perbedaan-perbedaan sesama anak
bangsa. Kita yang bertugas melanjutkan dan mengisi kemerdekaam bangsa ini,
sudah seharusnya menyatupadukan kecerdasan, keberanian, dan kekuatan yang
dimiliki. Sembari mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada. Sebab, tentu
tak ada yang menginginkan adanya pertumpahan darah (kembali) yang disulut hanya
karena perbedaan pandangan maupun perbedaan yang lain di negeri ini. #Maunya
sih, aku dan kamu tetap jadi kita, yang bersatu padu. #Uwuwuwu.
Jika kamu ingin membaca sejarah yang tak kaku, melalui narasi yang
lebih hidup, novel ini cocok untuk ditambahkan ke dalam list bacaanmu.
@mkusmias yang lagi gandrung dengan novel dan sejarah