Gambar: numuda.co.id

Ini sebenarnya sudah lama saya baca.  Tapi betapa iuh-nya saya ini, selalu beralibi sama diri sendiri dan meneruskan bermalas-malas ria, akhirnya tidak jadi nuli-nulis juga.

Halaman ke 7 dari Tafsir Al-Azhar Jilid 1, menjadi semacam belati yang menusuk-nusuk kerasnya hati. Seperti biasa, dengan bahasanya yang nyaman dibaca, Hamka menuliskan ulasannya tentang Al-Qur’an sebagai semacam pengantar Tafsir Al-Azhar yang jumlah jilidnya ada 9 itu.

“Arti Al-Qur’an menurut bahasa (lughoh) ialah barang yang dibaca. Al-Qur’an itu menurut undang-undang bahasa adalah kalimat mashdar, yaitu pokok kata, yang berarti bacaan, tetapi diartikan lebih dekat pada sesuatu yang dikerjakan (isim maf’ul), menjadi artinya yang dibaca.”

Kebanyakan kita, termasuk saya, sudah terlalu biasa mendengar kata itu (Al-Qur’an) disebut beserta penjelasan maknanya, bukan? Tapi kali ini kok ya rasanya sedikit beda, saat membaca ulasan lanjutan beliau yang menyederhanakan penjelasan di atas itu:

“Baik dari asal ambilan bahasa maupun setelah dia diistilahkan, keduanya itu telah tergabung menjadi makna yang satu, yaitu bahwasanya Al-Qur’an memang dibaca.”

Hakjleb banget pas baca kalimat di atas itu, terutama 3 kata terakhir. Al-Qur’an itu ya memang dibaca. Apa lagi?! Jika sudah beli Kitab Al-Qur’an, selanjutnya ya dibaca! Mau ngapain lagi?! Membelinya hanya untuk dipajang, jimat di dalam rumah, atau hiasan biar mendapatkan citra keashalihan? Atau malah untuk sekedar teman kotak uang biar uangnya aman tidak dicuri tuyul? Bukan, udu kui yang dinamakan Al-Qur’an, cinta.

Ini semacam autokritik untuk diri sendiri. Meski sudah menjadi se-“akhwat” kayak apa juga, kalau punya Al-Qur’an itu ya mestinya dibaca. Lebih lagi, mau se-“aktivis” dan sesibuk apa juga, membaca Al-Qu’an itu semacam “kudu”. Rajin ikut taklim pada 10 ustadz per minggu tidak akan mengubah makna Al-Qur’an yang artinya sesuatu yang dibaca itu. Baju kita yang se-syar’i dan terlihat se-sholih bagaimana pun, bukan menjadi penggugur tugas kita membaca Kalam Allah itu, Hayati.

Penjelasan Hamka bab Qur'an ini kok ya jleb banget memang. Lebih lagi di zaman now yang rasa-rasanya gadget lebih sering kita elus-elus ketimbang lembaran Qur'an. Kita ini sebenarnya bisa tanya pada cermin (diri sendiri), lebih sering pegang-pegang mana hayoo, hp atau qur'an? Lebih sering baca mana hayoo, broadcast yang gak jelas -yang kadang malah cuma hoax- atau ayat-ayat Qur'an? #ngomongsamacermin #ehehe

Saya sering malu sendiri saat mendapati teman-teman yang konon baru “hijrah” mendalami Islam. Mereka ini saat membaca ayat suci masih terbata-bata, pakaiannya pun masih terlihat biasa –tak serapat seperti para ukhti yang mengenakan hijab syar’i-, tapi mereka tak pernah malu saat suaranya yang terbata-bata dan terputus-putus itu membaca huruf demi huruf setiap ayat yang dilanjut ayat itu. Rasanya saya bisa membaca semangat kawan-kawan ini sejelas tulisan, “mulai sekarang aku mau merutinkan baca Qur’an. Dan belajar kalau belum bisa”.

Para ukhti dan akhi yang bukan orang baru di komunitas ngaji -yang lebih sering malasnya ketimbang rajin baca Qur'an kayak saya-, tentu mestinya ikutan malu bareng saya. #hehe.

Betapa kita ini memang lebih banyak lupa daripada ingat, lebih sering malas daripada rajin. Kalau sudah begini, kita tengok saja ke dalam diri kita sendiri-sendiri. Hari ini, sudah baca Qur’an belum? Berapa lembar? Ayat mana yang sudah diamalkan?

Setelah membaca dengan tartil, tak kalah penting adalah "membaca" ayat-ayat Qur'an. "Membaca" dengan pemaknaan dan pikiran. "Membaca" yang semacam ini kita sudah dimudahkan dengan adanya kitab-kitab ataupun kajian tafsir.

Inilah gunanya daya pikir untuk manusia. Lha katanya manusia itu makhluk spesial yang punya nalar? Lha kalau nalarnya nggak dipakai buat "membaca" Qur'an, apa bedanya manusia dengan tumbuhan yang hanya bisa melambai-lambai daunnya saat diterpa angin itu? Tidak beda dengan ayam, burung, dan jenis hewan lain kalau manusia enggak "membaca" isi Qur'an? Sungguh, tidak ada bedanya dengan wit kates depan rumahku. #huehuehue

Setelah membaca dan "membaca", ada tugas lain lagi yang juga tak boleh ditinggalkan. Yap, diamalkan dengan segenap pemaknaan. Sebab jangan sampai kita ini termasuk seperti yang diperingatkan Rasulullah,

"... dan membaca Al Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka..." (H.R Bukhari)

Kalau kata Ibnu Hajar Al Asqalani, maksud tidak melewati kerongkongan adalah, "bacaan yang tidak diterima di sisi Allah." Lha iya, lha wong Qur'an cuma dibunyi-bunyikan saja kok, tidak "dibaca" lebih dalam, apalagi diamalkan, apalagi dihafalkan. Sukur-sukur dimuraja'ahkan. #ya Allah menohok syekali kali ini

"Sebab Al-Qur'an itulah yang telah membentuk kebudayaan dan peri-hidup penganut Islam, yang ditegakkan di atas budi, memperhalus perasaan, memperkaya ingatan dan melemahlembutkan ucapan lidah", tutup Hamka pada bab ini.

Jadi, sudah sampai halaman berapa batas penanda Qur'an kita yang unyu-unyu itu? Yuk nambah ayat, nambah halaman, sukur bisa cepet nambah juz!

@mkusmias yang tersentil abis dibacakan Al-Azhar sama mas bojo

Referensi:
Hamka, Prof.Dr. 2015. Tafsir Al-Azhar Jilid 1. Gema Insani:Jakarta. Hal: 7-8.
Foto: @mkusmias

Judul: Jejak Langkah Said Tuhuleley
Penulis: Tim Penyusun
Penyunting: Agung Prihantoro
Penerbit: Yayasan Shalahuddin Laboratorium Dakwah, Jogja
Cetakan ke/Tahun terbit/Hal: 1/2015/309

“Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata istirahat” (Said Tuhuleley)

Kalimat pembuka pada sampul dalam buku ini sekaligus merupakan jargon hidup tokoh yang dibahas dalam buku ini. Ialah Said Tuhuleley, aktivis-pejuang muslim yang kiprah perjuangannya telah lama ditorehkan sejak Orde Baru. #lamaeuy.

Namanya dikenal sebagai Bapak Pemberdayaan Kaum Duafa. Sematan yang demikian sebab fokus perhatian Bang Said, panggilan keakraban Said Tuhuleley, adalah menolong kaum dhuafa dan mustadh’afin agar bisa hidup wajar. Bisa hidup wajar berarti “Meninggalkan kehidupan yang masih dalam tahapan sub-human, alias belum cukup manusiawi”, begitu istilah Pak Amien menggambarkan garis perjuangan Bang Said. Di buku ini, kiprah perjuangan Bang Said direkam lewat tulisan menurut kesaksian para sahabat beliau.

Buku setebal 309 halaman ini ditulis oleh 50 tokoh yang pernah bersahabat ataupun berjuang bersama dengan Bang Said. Buku ini saya dapatkan sebagai bonus saat mengikuti Pengajian I’tikaf Ramadhan di Kompleks Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta. (aseli nyesel ikut PIR di tahun 2016; saat udah lulus dan udah back to home. Nyesel gak ikut dari dulu-dulu pas masih aktif di Jogja. Muehehe)

Buku bersampul sketsa wajah Bang Said ini terdiri dari 8 bagian dengan total tulisan sebanyak 36 judul. Buku ini dibuka dengan sebuah puisi panjang yang ditulis oleh Mastur Thoyib Kesi. Sejak membaca kata pengantar yang ditulis oleh Pak Amin Rais saja saya sudah dibuat takjub dengan perjuangan seorang Said. Tulisan selanjutnya semakin greget dipaparkan oleh tokoh-tokoh ternama di negeri ini. Mulai dari Pak Zulfikli Halim, Abdullah Hehamahua, Anies Baswedan, Muhammad Aiunun Nadjib (Cak Nun), Jawahir Thontowi, Haedar Nashir, Yunahar Ilyas, Ahmad Sayafi’i Ma’arif, Muhadjir Eeffendy, Ali Gufron Mukti, Moh. Mahfud M.D., dan lain sebagainya. Jika masih asing dengan nama-nama tersebut, haduh, dolanmu kadoen, rek. Huehehe...

Apa sih yang para tokoh terkenal ini tulis? Yap, sesuai dengan judulnya “Jejak Langkah Said Tuhuleley”, buku ini berisi kumpulan tulisan tentang biografi seorang Said dari kacamata masing-masing penulis yang pernah bahkan akrab sampai berjuang bersama dengan Bang Said.

Bagian pertama buku ini “Menjejak dari Saparua”, menggambarkan asal usul seorang Said. Beliau adalah santri yang berasal dari Saparua, Maluku Tengah. Ia memiliki kakak bernama Umar. Keduanya tumbuh menjadi seorang aktivis yang berjuang untuk kepentingan umat. Pernah dengar “nama adalah doa”? Kedua orang tuanya sangat mengagumi sosok Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Lalu kedua anaknya dinamai Umar dan Said, dengan harapan kelak menurunlah sifat dan karakter Pak Tjokro itu pada Umar dan Said. Jelas saja, Umar dikenal sebagai sosok yang tegas, pandai berorasi laiknya pak Tjokro. Said pun juga keras keteguhannya yang berjuang untuk kepentingan umat.

Halaman kiri: Pak Said menerima gelar doktor honoris causa (atas) dan Pak Said terjun saat pemberdayaan masyarakat lemah (bawah).
Halaman kanan: Pak Said bersama santri Budo Mulia (atas) dan perpustakaan di Budi Mulia (bawah)

Pada bagian pertama ini pula, diceritakan kiprah Bang Said dalam dunia kemahasiswaan antara tahun 1974-1984. Tahun 1977-1978 beliau didapuk sebagai Ketua Dema IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang menjadi UNY). Pada tahun itu, ia bersama ketua Dema se-Indonesia melakukan protes dan perlawanan terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang tidak berpihak pada rakyat (hal 17). #ini nih yang namanya mahasiswa... #eaa..

Namun keaktifan Bang Said (bersama teman-teman seperjuangannya) dalam gerakan mahasiswa berhadiah penjara. Bang Said ditangkap dan dipenjara tanpa proses peradilan selama 8 bulan pada tahun 1978.

“Mahasiswa adalah pemimpin bangsa pada masa mendatang. Maka, saat duduk di bangku kuliah, mahasiswa harus memahami dan menghayati idealisme bangsanya.” (Said Tuhuleley, hal 18)
Halaman kiri: Pak Said bersama M. Natsir dan Lukman Hakiem (atas) dan Pak Said bersama teman-teman di Markas Sambu Tiga (bawah).
Halaman kanan: Pak Said bersama aktivis Dema UNY 1982 (atas) dan foto serah terima jabatan Ketua Dema 1977/1978 (bawah)

Selain aktif di Dema, nama Said sangat kental dengan HMI dan Dakwah Kampus pada masa itu. Di Gang Sambu Tiga, Mrican, Said bersama teman-temannya sering mengadakan kajian-kajian keislaman dan kajian strategis tentang pergerakan mahasiswa dengan menghadirkan tokoh-tokoh pada waktu itu. Jika boleh diistilahkan, Sambu Tiga menjadi basis kaderisasi HMI masa Said.

Selain aktif dalam dunia kemahasiswaan, perjuangan Bang Said juga merambah ke dalam dunia keumatan yang lebih luas. Saat Pak Amien mendirikan Yayasan Shalahuddin di Kaliurang KM 7 Yogyakarta, Said diajak  bergabung sebagai operator kegiatan. Di sana-lah kemudian Said terlibat dalam Laboratorium Dakwah (Labda) yang menjadi wadah praktikum bagi santri Budi Mulia (hal 28). Pada mulanya Bang Said didapuk sebagai menejer kegiatan. Namun karena Pak Watik Pratiknya semakin sibuk di Pusat Pengkajian Strategis dan Kebijakan (PPSK), Bang Said ditunjuk sebagai Direktur Labda.

Di dunia akademis pun, Said tak absen untuk ikut “bergerak”. Saat UMY didirikan sebagai proyek langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Said diboyong untuk turut membantu di beberapa bidang, antara lain di Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), menjadi komandan Divisi Penerbitan, serta menjadi dosen tetap Fakultas Teknik. Selain itu, beliau menjabat sebagai Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakuktas Teknik UMY.

Dulu, UMY belum begitu terkenal dan wah seperti saat sekarang. Siapa sangka kampus swasta nomor wahid di Indonesia ini dulunya (pada tahun 1984) hanya terdiri dari dua bangunan kecil sebelahan dengan lapangan sepak bola? Bahkan ruang kuliahnya masih menumpang di SPG dan STM Muhammadiyah.

“Pelajaran penting dari kemajuan UMY yang Said Tuhuleley turut andil ini adalah keberannian untuk bermpimpi dan kesiapan untuk bekerja tekun, cerdas dan ulet. Itulah kunci bagi kemajuan lembara umat.” (Pak Amien Rais, hal 31)

Di dalam persyarikatan, lagi-lagi, oleh Pak Amien, Said dimasukkan dalam kepengurusan Majelis Tabligh-nya Muhammadiyah. Sebelumnya, Majelis Tabligh dipandang sebelah mata karena tak segemerlap seperti Majelis Pendidikan dan Majelis PKU. Namun, setelah Bang Said masuk sebagai penggerak Pelatihan Peta Dakwah sebagai pendekatan dan model dakwah, Majelis Tabligh masuk dalam jajaran “majelis papan atas”. #Pak Amien tak salah pilih orang

Pernah dengar gerakan reformasi tahun 1998, kan? Yap, gerakan suksesi kepemimpinan yang digawangi oleh Pak Amien Rais itu, awalnya hanya segelintir orang yang mendukung. Said termasuk ke dalam yang segelintir itu. Said yang mantan aktivis 77/78 dan pernah mendekam dalam jeruji besi selama 8 bulang itu, menjadi laden setia di sisi Amien Rais yang menggaungkan azan suksesi untuk menumbangkan rezim Orde Baru yang dinilai diktatoris.

Halaman kiri: Bang Said mengikuti pertemuan dengan Dirmawa 1974 (atas) dan Bang Said bersama demonstran 1978 (bawah).
Halaman kanan: Suasana demonstran yang istirahat (atas) dan Bang Said saat bersama teman-teman pada tahun 1977 (bawah) 

Meskipun Bang Said berada dalam pasukan reformis kala itu, tapi pada akhirnya beliau tidak bermain sebagai pelaku politik. Bang Said justru lebih dalam “mengabdikan diri” di Persyarikatan Muhammadiyah. Kiprah pengabdiannya kepada umat di Majelis Pemberdayaan Muhammadiyah (MPM) menjadi bentuk pengabdiannya yang paling monumental. Di MPM inilah slogan “Selama rakyat masih menderita tidak ada kata istirahat” dan Surat Al-Ma’un diejawantahkan secara nyata. Bahkan disebut-sebut sebagai slogan pembebasan dan spirit Al-Ma’un.

Di bagian ini, saya mulai tersadar, Islam bukanlah ajaran yang menyuruh umatnya hanya untuk bernyaman-nyaman di atas sajadahnya, merayu Tuhan untuk dihadiahi surga sendirian. Sedangkan di kanan-kirinya, ada banyak orang yang tak tahu tujuan ia dihidupkan. Jangankan tujuan hidup, untuk hidup saja masih kesulitan. Di situlah, semestinya kita mengajak dan menunjukkan orang lain untuk mengenal Islam yang betul-betul rahmatan lil ‘alamin; Islam yang betul-betul membawa rahmat bagi seluruh alam. Rahmat Islam yang bisa dirasakan. Bukan sekedar yang dikoar-koarkan (saja). Lha bagaimana mereka ini -yang berada di golongan bawah- bisa percaya bahwa Islam rahmat bagi seluruh alam -termasuk rahmat bagi mereka-, sedangkan perut mereka terus merongrong kelaparan? Bagaimana pula mereka ini saat didakwahi bisa percaya surga-neraka, sedangkan untuk sekedar makan saja terkadang mereka tak punya?

“Dunia tani, buruh, nelayan, abang becak, dan kaum duafa-mustdh’afin melekat dan menyatu dalam dirinya (Said).” (Haedar Nashir, hal 135)

Melalui pemberdayaan masyarakat, Bang Said mengajarkan kita untuk memahami akar rumput dengan baik. Bahwa, pendidikan harus tinggi, tapi jangan sampai melupakan akar rumput. Bang Said bahkan sempat diangkat di harian Kompas sebagai sosok aktivis pengembangan masyarakat yang kritis dan advokatif. Karena kompetensi di bidang pemberdayaan inilah, saya dan teman-teman sempat mengajak berdiskusi dan menggali ilmu pada beliau saat membuat konsep KKN Program Pemberdayaan Masyarakat tahun 2013-2014 untuk dilaksanakan di Papua Barat. (#niat banget ngelaksanain KKN.)

Kerja Said bersama pasukan MPM menjadi pilar baru dalam sejarah amal usaha Muhammadiyah. Pemberdayaan masyarakat kini tegak sebagai pilar baru dalam dinamika persyarikatan melengkapi pilar pendidikan, dan pilar kesehatan.

Said kecil (kiri atas) bersama keluarga

Namun, di balik kerja kerasnya sebagai pejuang umat, ada bibit penyakit ginjal dan diabetes yang bersemayam di dalam raga beliau, selain penyakit jantung yang ia derita. Setelah berobat di Rumah Sakit Holistik Haryoko di Salatiga dan dinyatakan sembuh dari penyakit jantung, pada 9 Juni 2015 Bang Said mengalami keadaan kritis. Pada tanggal 10 Juni 2015 menjadi “duka sedalam cinta” bagi seluruh umat yang mengenal beliau. Hari itu adalah hari terakhir Bang Said menghembuskan nafas.

Said Tuhuleley hadir di Pesantren Budi Mulia, di Universitas Muhammadiyah, di majelis-majelis Persyarikatan, di KAHMI serta di berbagai lembaga keumatan, dan ia selalu membawa aura ukhuwah yang menebar amal kebajikan. Pantaslah kepergiannya membawa duka yang menikam semuanya. Tak heran bila beliau dikebumikan dan makamnya diapit oleh dua pusara pendiri organisasi umat Islam; K.H Ahmad Dahlan  dan A.R. Fachruddin. Keduanya adalah tokoh Muhammdiyah yang diteladani oleh Bang Said.
--
Meskipun buku ini terbagi menjadi 8 bab, tapi setiap judul memiliki inti cerita yang hampir sama; kiprah perjuangan Bang Said menurut kaca mata penulis. Tak heran bila beberapa hal terkesan diceritakan secara berulang. Namun, buku ini tetap ciamik dengan gaya bahasa para cendekiawan dalam menggambarkan pemikiran, sepak terjang, dan pribadi Bang Said secara lengkap dari pusparagam perspektif.

Di bab terakhir buku ini menampilkan foto-foto Bang Said dalam banyak momen; saat di depan Gedung Parlemen Inggris, menerima penganugerahan gelar doktor honoris causa, saat terjun langsung untuk memberdayakan masyarakat lemah, foto Bang Said bersama santri Budi Mulia, foto Bang Said bersama M. Natsir –tokoh yang ia kagumi-, markas Sambu Tiga Mrican, hingga saat terjun bersama para demonstran 1979.

Khatam membaca buku ini menjadikan pembaca paham kenapa sosok seorang Said terasa sangat perlu untuk direkam dalam Jejak Langkah ini. Buku ini sangat disarankan kepada mereka kaum mahasiswa (yang katanya mahasibuk) atau pemuda yang agar kesibukannya mendekat pada umat. Keshalihannya bisa menshalihkan orang banyak. Dan kecerdasannya mencerdaskan banyak kalangan.

Membaca buku ini berarti mengenang, meneladani, meneruskan, dan mengobarkan perjuangan yang telah tercetak tebal dalam sejarah gerakan mahasiswa, pemetaan dakwah Islam, reformasi pendidikan, dan pemeberdayaan masyarakat lemah.

Jadi, boleh banget kamu tambahkan buku bacaan semacam ini, agar yang dikenal bukan hanya tentang cinta-aku suda dia-dan kapan menikah (melulu). #huehuehue. Sebab, hidup tak hanya sekedar tentang bunga dan kupu-kupu. Banyak orang bijak bilang, hidup itu tentang bagaimana bisa bermanfaat. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, bukan? 

Salam baik,
@mkusmias yang sedang belajar bermanfaat