Desember bulan hujan. Alhamdulillah, rahmat Allah itu masih merintik dan menderas di akhir tahun ini, yang –kekata seseorang- selain menyebabkan genangan, hujan juga membangkitkan kenangan. (#halah). Ngomong-ngomong soal kenangan, setiap berjalannya masa selalu menyimpan berjuta kenangan. Betul kan? Tahun ini, hamdalah banget banyak kenangan yang menjadi tilas setiap detik 2015.


Kali ini, saya ingin banget bercerita dan berbagi rasa tentang langkah kaki yang beranjak ke berbagai tempat yang menawan di negeri ini. Traveller banget ya? Ah, tidak juga. Saya suka traveling sih, tapi kayaknya masih belum bisa disebut traveller. Baiklah, kemana aja kaki ini menapak di tahun ini hingga menjadi kenangan? Here they are …

Januari: Aku Akhirnya Kembali

Pernah kangen kan? Apa yang lebih membahagiakan bagi seorang pelaku rindu jika bukan bertemu dengan yang dirinduinya? Saat rindu, nikmati saja kerinduan itu. Saat rindu, seolah-olah waktu ingin mengingatkan kita bahwa kita ini lemah, penuh ketidakmampuan. Tidak mampu untuk selalu bertemu. Maka lahirlah sebuah harap. Harapan yang melangit agar yang berada di atas langit mengijinkan kembali untuk sekedar mempersembahkan senyum terindah. Sekedar bercengkrama tentang banyak cerita yang sempat tertahan oleh masa, atau pun sekedar melontarkan sebuah sapa. Baiklah, Januari menjadi awal tahun yang luar biasa. Diawali dengan sebuah harapan yang akhirnya menjadi kenyataan, dan rindu yang akhirnya nyata untuk kembali bertemu.

Di pertengahan Januari, akhirnya misi itu terlaksana. Ada banyak misi. Misi untuk menyelesaikan serangkaian penelitian skripsi, agar masa kuliah S1 berakhir dengan khusnul khotimah. (Dan misi ini akhirnya mengantarkan pada sejarah yang mengharu biru: wisuda bulan Mei. #Yeeaaahhh #sambil lompat-lompat nabur bunga ke langit... #bilang apa? #hamdalah. huehehe).

Penelitian saya ini berhubungan dengan misi yang kedua, yaitu misi sosial atas nama Komunitas Sahabat Misool. (beneran deh, ini temen-temen ketje-ketje semua… ternyata, pohon terpele (galau) yang dipupuk dengan kerinduan dan disiram dengan air kangen, membuahkan rasa peduli yang selain melangit juga membumi). Akhirnya, saya kembali menginjakkan kaki lagi di tanah Misool, tepatnya kampung Fafanlap untuk riset kesehatan anak-anak Fafanlap. Penelitian dengan judul ‘Prevalensi Infeksi Nematoda Usus pada Anak-anak SDN Fafanlap, Misool Selatan, Raja Ampat’ ini selain mengantarkan saya memakai toga wisuda, hasil risetnya juga digunakan untuk advokasi kesehatan oleh Sahabat Misool kepada Dinas Kesehatan Raja Ampat. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Kira-kira begitu. Dan akhirnya, beneran melampaui banyak pulau indah lho. Huehehe.

Sama seperti saat KKN tahun 2014 lalu, misi menuju Misool kali ini pun dihadapkan pada perjuangan yang gak sederhana. Tentu sempat pesimis, tapi karena hampir tiap hari menatap foto-foto kampung Fafanlap, foto wajah-wajah lugu dengan ciri khas hitam kulit dan keriting rambut, beserta kenangan KKN 2014 lainnya, itu semua cukup berhasil membangkitkan lagi kepercayaan diri sebagai hasil dari terpele yang overdosis. Yah begitulah, kadang rindu memang menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan kita dalam hal bertemu, namun kadang pula ia-lah yang mendatangkan kekuatan untuk berusaha sampai yakin bahwa bertemu kembali bukanlah hal yang fiktif dan mustahil. Dan itu nyata terjadi. Di bulan Januari, akhirnya aku kembali. Kembali ke Kampung Fafanlap. 

Assalamualaikum, Misool. Jika tak bisa membendung rindu, maka harus bertemu. ^_^
Saking harunya, saya tak bisa menahan bulir air mata yang berlinang di pipi. Allah Kareem, bener-bener satu keajaiban deh bisa ke sini lagi. Yang awalnya dikira bercanda, sampai ada yang mencoba menggagalkan (yah, saya sih sebenarnya cukup paham kenapa-nya, akhirnya #ah sudahlah. Semakin diihalangi malah justru semakin membara semangatnya. Hehe. Akhirnya, lagi-lagi, I have shown that I can reach, tentu karena Kehendak Allah), dan ada yang gak kalah gumun yang tahu bahwa pada akhirnya saya ambil data skripsi ke sana. 

Suasana hari Sabtu pagi saat kapal Fajar Indah berlabuh di dermaga Fafanlap (nah, kapal sudah berlabuh, kapan yang nulis ini melabuhkan hatinya? Aw aw aw). Hei, coba lihat kubah masjid itu! Salah satu ciri khas kampung-kampung Muslim di Misool ditandai dengan adanya masjid yang sangat terlihat gagah dan jelas dari kejauhan. Lihat! Pohon-pohonnya masih hijau nan asri. Lihat juga anak-anak berseragam pramuka itu! Merekalah bahan bakar terpele yang gak habis-habis ini. Beberapa kapal-kapal kecil (mereka menyebutkan katinting) merapat membawa penduduk kampung sekitar Fafanlap yang membawa dagangan, atau hendak ikut naik kapal Fajar Indah kembali ke Sorong. Inilah pasar yang hanya ada sekali setiap minggunya, pada waktu itu.

Setelah sampai di kampung ini, saatnya penelitian dimulai. I enjoyed this project very much. Mungkin rasa “menikmati” ini yang bikin penelitianku cepet kelar. Kuncinya, love what you do, yang tak sekedar do what you love, dan (kata Hanum) asikin aja. ^_^

Saat wawancara dengan salah satu orang tua murid untuk data riset. Sangat-sangat menyenangkan yah ternyata bisa bersua dengan mereka lagi, bercengkrama, saling membalas sapa dan senyum. Mudah-mudahan mace-mace dan warga semuanya sehat-sehat sadayana. Etapi itu si adek kasihan sedang sakit. Did you know? Di sana masih sulit mendapatkan akses kesehatan. Saat saya sedang wawancara itu, si adek belum minum obat. Bingung harus bantu apa. Akhirnya yah cuman bikin kompres aja. Dan alhamdulillah, hari demi hari si adek –yang saya lupa namanya- membaik kondisinya setelah bibi Ode dan tim dari Puskesmas datang menjenguk. Tarima kasih bibi Ode (perawat), paman Aziz Soltief (Kepala Puskemas, suami bibi Ode), paman Ali Soltief (perawat, adik paman Aziz), dan petugas puskesmas lainnya. Senang rasanya para petugas datang memberi pelayanan kesehatan. 
Dari pintu ke pintu, dari rumah menuju rumah yang jumlahnya puluhan, di bawah terik matahari, berkeliling malam hari yang hanya bersinarkan rembulan dan berbintang pun dijalani. Papua, tak hanya indah pemandangan alam saat waktu terang saja lho. Namun, dari senjanya hingga malam tiba, semuanya menawan. Cantik. Romantis. Manis. Saya jadi teringat pemandangan langit yang indah yang terjepret saat KKN masa itu. Seumur-umur, itulah langit terindah yang pernah saya lihat sampai sekarang. 

Ah, tentu, pemandangan aslinya lebih menawan. Lebih indah dari yang sekedar terjepret. Ini foto waktu KKN 2014, diambil dari Album Sahabat Misool pastinya.
Saat melewati jembatan goyang, memang benar-benar bergoyang papan-papan penyusun jembatannya. Disebut juga jembatan jodoh. Konon, muda-mudi yang kepergok mojok di jembatan ini langsung dijodohkan, mungkin biar gak jadi fitnah di hari-hari berikutnya. Unik. Bila masuk sore hari, enak banget kalau duduk-duduk di pinggiran jembatan sembari menikmati pesona senja. (kualitas gambarnya kurang bagus. Maklum hanya bermodal jepret dari hp)
Saat berkeliling kampung di siang sampai sore hari, pasti mendapati anak-anak kampung sedang bermain-main di halaman rumah warga. Riang, ceria, gembira, menghiasi wajah-wajah lugu mereka. Nampaknya, sangat menikmati masa kanak-kanak; bermain bersama teman sepuasnya, bangga jika menang bermain, tak apa-apa jika pun kalah karena tetap dapat senang.

Bermain gundu adalah favorit mereka (kualitas gambarnya kurang bagus L)
Dan, kerja di laboratorium pun harus diselesaikan sesuai Deadline. Membuat preparat, mengamati makhluk indah di bawah mikroskop, mencatat hasil pengamatan. Itu adalah aktivitas rutin setiap hari. Untunglah, saya berhasil membuat penasaran anak-anak sekolahan. Dari anak-anak SD, SMP, hingga SMA, mereka suka rela menemani dan membunuh kejenuhan saat bekerja di lab. 

Dari kiri ke kanan: Maya (temen jalan selama penelitian di Misool), Rifai (Kelas X SMA) sedang belajar mengamati preparat di bawah mikroskop, Fatma (Kelas XII SMA). Fatma ini paling dekat dengan saya, siap mengantar kemana saja, dari teman bercanda sampai teman yang sering mengantar durian untuk saya dan Maya. Hingga sekarang, menjadi adik marga. Oke insyaa Allah nanti ketemu tulisan saya dapat marga. Hehe, lanjut suda ko baca tulisan ini.
Suntik identik dengan sakit seperti digigit semut, katanya. Dan itulah yang harus dirasakan anak-anak SDN Fafanlap yang terdiri dari kelas 1 -6. Maaf ya adek-adek, demi data kaka, demi penelitian kaka. Toh, hasilnya untuk kalian juga. (#pasang muka paling baik. Hehe.) Banyak ekspresi anak-anak SD ini, mulai dari yang takut, kesakitan (emang sakit beneran ya, dek?), mengaduh, hingga ada juga yang malah ketawa. Kali ini, saya tidak bisa nyuntik mereka sendiri. Alhamdulillah, bala bantuan dari Puskesmas Dabatan siap bekerja sama. Yapz, penelitian saya ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Raja Ampat, yang secara teknis dibantu oleh Puskemas Misool Selatan yang berkantor di Dabatan. Paman Aziz Soltief dan timnya sangat mendukung sekali. Alhamdulillah… kerja sama yang luar biasa yah paman. Terima kasih… banyak terima kasih saya ucapkan ya, paman.

Memang rasanya seperti digelitik ya, adek? 

Foto bareng guru-guru SD N Fafanlap, murid-murid, dan Tim Puskesmas Dabatan. 
Foto bersama wali murid, yang dengan kesediaannya hadir dan mendukung penelitian. Terima kasih mace, bibi, pace. Hal pang istimewa dari setiap perjalanan adalah bertambah keluarga baru dan cinta. (eaaa) 
Tentang penelitian di awal tahun, itulah rangkuman kisahnya. Special thanks to Sahabat Misool, yang sudah bantu-bantu dari bikinin amunisi stiker dan design-in cover proposal (Hanip, makasih buanyak nip, suka dengan desianmu, karena mengandung 70% terpele (galau+rindu kampung) dan 30% ceria. Jadi 100% Mantab. Hehe); yang bersedia kasih saran-saran dan banyak link (#Hanip lagi,,, makasih Nip, Harir, bang Ali Seknun yang leluconnya sangat menghibur, nak Bram a.k.a Abroby Agus Cahya Pramana yang masukin ide ke kitabisa.com, mba Ayu Sriwahyuni yang ngenalin ke Om Yamin); Maya Pradipta yang nemenin ambil data, maaf ya jadi ngrepotin; Ihya, Rachmad, Kiki yang nganterin dan jemput di bandara dengan senang hati dan pastinya ceria; mba Son yang nemenin ketemu Pak Abu (sebenernya sama Hanip juga, makasih Nip, jasamu gak bisa dihitung deh). Paman Ipin a.k.a paman Arifin dengan gesture nyeremin tapi paling baik hatinya deh di seantero Misool. Paman Idris yang siap sedia bantu dan mendukung penelitian. Om Be Sorong yang senang membantu anak Jawa ini. Mama Jawa, Bibi Jawa, tete Imam yang memberi marga Soltief, yang semuanya baik hati banget. Fatma, Fa’i, Aco, Irja, Santo, dan siapa lagi ya, yang dengan senang hati ngajak jalan-jalan ke kebun dan muter-muter SPP, makan durian, ambil langsat hingga minum kesu (kelapa susu). Kisah indah bersama kalian deh. Abduh yang nyebelin tapi ternyata paling ngangenin. Tim Puskesmas Dabatan yang semangat bekerja sama dalam penelitian. Om Yamin dan keluarga yang baik hati sekali sampai saya (sebenarnya) terharu. Bu Nastiti, ibu dosen yang saya kagumi kebaikan dan inner beauty-nya, yang saya bela-belain minta dibimbing Ibu. Pak Hery yang juga membimbing metode penelitian. Pak Wakil Bupati, dr. Tomy Young, Pak Ori Deka, Pak Desa dan keluarga yang juga baik sekali, Pak Syafi’I Sekretaris Kampung yang banyak membantu, dan tentu Pak Abu Shaleh Thafalas yang tak kalah baik.  Bi Ipeh, Irfan, mba Den, Yuna yang ngasih coklat, bang Jabir, Fahmi, dan semua kru Sahabat Misool yang mendukung hal apapun yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Dua kata; kalian keren. Keren ya kalau terpele bareng-bareng. Buahnya adalah rasa peduli. Setidaknya, kita yakin bahwa peduli adalah (bagian dari) solusi. #KapanTerpeleLagi.

Alhamdulillah, ternyata benar adanya, bahwa Allah selalu kasih kemudahan-kemudahan dalam satu kesulitan. Hal yang paling membahagiakan adalah, perjalanan ini mengantarkan saya menemui banyak orang-orang baru, kenalan baru, hingga yang menganggap saya seperti keluarga baru. #terharu. Awal tahun ini luar biasa, dan harus bilang apa? Alhamdulillah,,,

Apakah sampai di sini cerita di bulan Januari di Misool tahun ini? Oh tentu tidak, Allah kasih banyak sekali kesempatan untuk menikmati hidup di timur Indonesia itu. Bersambung insyaa Allah… ^_^

@mkusmias dengan setumpuk kenangan 2015


“Bahagia itu sederhana,” tulis seorang teman yang mengunggah sebuah foto momen bahagianya. “Bahagia itu sederhana; bisa makan bersama dengan keluarga” lanjutnya pada sebuah postingan foto dengan background rumah makan bersama menu-menunya yang tergolong mewah.

Lagi, sebuah status yang membersamai sebuah postingan foto, “bahagia itu sederhana; jalan-jalan bersama orang terkasih.”. Foto yang diambil adalah moment bahagia bersama orang yang ia kasihi dengan background pemandangan yang elok nan menawan. Kira-kira, menuju tempat itu pun butuh mengeluarkan receh yang tak hanya seribu dua ribu.

Dan saya pun manusia yang tak luput dengan rasa kebahagiaan dan sesumbar kata yang sama, “bahagia itu sederhana. Bisa kembali lagi bersua dengan mereka,” sambil memposting sebuah foto kebersamaan dengan anak-anak kecil di pelosok Papua dengan berlatarkan pemandangan laut yang indah nan mempesona.

Setidaknya, saya yakin bahwa sesederhana itulah sebuah bahagia. Hingga saya mengalami satu peristiwa yang membuat saya bertanya-tanya tentang kebenaran bahagia yang sederhana versi saya itu.

Ceritanya seperti ini:
Seperti biasa, saya pulang dari daily activities sekitar pukul empat sore hari. Seperti biasa pula, saya melewati rute yang sama menuju pulang. Meninggalkan bilangan Jalan Veteran, berbelok ke arah STAIMUS Surakarta, sengaja nyidat memang. Setidaknya, baru itu jalan nyidat yang kutahu. Saat hendak membelok ke arah barat (ke kanan dari arah STAIMUS Ska), di perempatan sebelah utara SMK Farmasi Surakarta, seorang bapak-bapak penertib kendaraan membubarkan kantukku saat berkendara. (Hmm,,, saya masih sukar menghilangkan rasa kantuk saat berkendara. Sebenarnya agak berbahaya sih. Luputnya mengantuk, ya melamun. Ini juga kudu dihindari sebenarnya. Entah ya, kenapa ramainya jalan justru cozy banget buat menghimpun lamunan. Hehe.. Astaga…)

Bapak penertib kendaraan yang berlalu lalang itu menggerakkan tangannya memberi isyarat silakan lewat. Dengan suara yang ramah, ia menyapa, “assalamua’alaikum, yak hati-hati...” Wajahnya tertutup slayer hitam dan berkacamata. Kepalanya ditutupinya dengan topi hitam. Beberapa ubannya yang terlihat mencuat keluar menandakan kira-kira bapak itu berusia paruh baya. Saya tak begitu menghiraukan sapaan si bapak.

Hari berikutnya, terjadi peristiwa yang sama. Aku yang tak begitu hirau, melaju saja seperti biasa. Sampai di perempatan kecil itu, saat hendak membelok ke arah barat, kembali aku mendengar sapaan si bapak yang tempo hari menertibkan lalu lalang kendaraan. “Yak hati-hati di jalan, Assalamua’alaikum…” sapanya dengan suara yang terkesan sangat ramah.

Masih tak begitu kuhiraukan. Namun, saat aku melintas di bilangan Jalan Yos Sudarso itu untuk ketiga kalinya dan seterusnya, dengan sapaan yang hampir sama dari bapak-bapak bersuara ramah itu, saya lalu sedikit bertanya-tanya. Dan kini, hampir setiap hari saat saya melintas di jalan itu, hampir setiap hari pula kutemui sapaan yang sama. Kulihat si bapak itu menyapa hampir ke setiap orang yang lewat pula. Namun jika aku atau pengendara wanita berjilbab lebar, atau lelaki yang keliatan nyunnah secara lahirnya yang melewat, si bapak selalu menyelipkan, “Assalamu’alaikum” di awal sapaannya.

Yeah, sapaan yang sedikit menghiburku saat kelelahan setelah beraktivitas seharian mulai menggerogoti semangatku. The power of sharing, jika tidak berlebihan boleh kukatan demikian. Meski hanya sebatas salam dan sapaan ramah. Setidaknya, itu membuatku dan mungkin pengendara yang lain juga sedikit bersemangat setelah tersapa. Setidaknya, yang tadinya rada suntuk, menjadi sedikit tersenyum setelah tersapa. Setidaknya, yang awalnya rada badmood, datanglah goodmood setelah tersapa.

Yeah, I guess, kekata “bahagia itu sederhana”, agaknya lebih berkesan saat si bapak penertib itu yang mengucapkan. Sesederhana mengucapkan salam ke sesama, sesederhana melempar keramahan ke sesama. Barangkali bahagia yang sederhana yang tepat seperti itu adanya. Aku sedikit tertegur kecil. Aku sering mengucapkan bahagia itu sederhana, namun untuk mencapainya tak sesederhana seperti mengucapkan. Aku bilang bahagia itu sederhana, tapi ungkapan itu lahir saat bersama ayah makan di rumah makan yang tidak bisa dibilang sederhana. Aku sering bilang bahagia itu sederhana, dan menyelipkan kekata itu pada foto-foto pemandangan indah, yang tentu pergi menuju pemandangan indah itu bukanlah hal yang sederhana. 

Aku tertegur kecil. Si bapak penertib tak pernah bilang bahwa bahagia itu sederhana. Tapi aku merasa aku telah belajar the real mean of  “bahagia yang sederhana” dari bapak yang selalu menyapa dengan sederhana. Bahwa memberi kebahagiaan itu sesederhana mengucap salam ke sesama. Bahwa membuat orang lain bahagia itu sesederhana kita memberi senyum ke sesama. Bahwa memang, cara membuat diri kita bahagia adalah dengan memberi kebahagiaan kepada sesama. Terima kasih Bapak penertib yang entah ku tak tahu namanya. ^_^

Di malam yang semakin pekat,

@mkusmias yang lagi insomnia


Sudah lama aku mencari-cari sepucuk surat yang ingin ku baca isinya lagi. Surat itu tak tampak begitu memukau. Bahkan ia terlihat lusuh karena terlipat-lipat. Tak pula tersimpan dalam amplop yang bagus. Bahkan tulisannya pun mengharuskanku membacanya lamat-lamat dengan penuh kekhusyukkan mengeja satu persatu huruf dan kata hingga dapat terbaca sempurna. Mungkin si penulis ingin menjadi seorang dokter. Hingga ia berlatih memperburuk tulisan sedari sekarang. Hehe...

Aku mencari sepucuk surat lusuh itu. Seingatku, aku menyimpannya bersama setumbuk tulisan-tulisan anak-anak yang lain sewaktu aku menjadi guru bantu setahun yang lalu. Yah, lagi-lagi, kalimat yang sedang kau baca ini berkisah tentang aku dan perjalanan semasa KKN dulu. Ku harap kau tak akan bosan mengikuti setiap kata yang kukisahkan ini. Tapi maaf, aku tak sepandai pujangga menyulam kata hingga menjadi cerita yang sempurna. Aku menulisnya, hanya karena aku ingin. Bukan karena aku takut lupa. Tapi karena aku ingin mengingatnya lebih lama. Sedikit lebih lama lagi.

Awalnya, aku ingin menulis ulang isi surat itu. Surat yang bisa jadi menurut orang lain itu tak pantas untuk dikenang, bahkan dibanggakan. Tapi begitulah, surat itu terkesan istimewa bagiku. Yah, istimewa itu tak perlu menunggu anggapan orang lain menilai hal itu istimewa. Rasakan saja, jika itu istimewa. Itulah istimewa bagimu. Sayangnya, sepucuk surat itu belum jua ketemu. Surat dari gadis SMP yang pernah menjadi muridku selama beberapa minggu di Pulau Misool, Papua Barat. Tepatnya di Kampung Fafanlap.

Namanya Mila. Entah siapa nama lengkapnya, aku tak hafal. Satu hal yang sangat kuingat tentangnya ialah surat darinya. Ia pernah memberiku sepucuk surat yang ia tempelkan ditanganku saat kelas telah usai dan anak-anak bergegas pulang. Seperti kulturnya, setiap anak berpamitan pada gurunya dan mencium tangan gurunya. Ternyata siang itu, Mila memberi ‘salam tempel’ padaku. Suratnya ia lipat sedemikian rupa dan ia tempelkan di tanganku saat bersalaman. Ah, anak-anak selalu punya cara sendiri untuk menyatakan rasa kasihnya. Ada anak yang lain juga yang sangat berkesan bagiku. Kusebut ia, Damin si Bocah di Balik Jendela. Sebagian ceritanya telah ku tulis beberapa waktu yang lalu. (simak di sini)

Aku tak menunggu hingga sampai di pondokan untuk membaca surat dari Mila. Aku yang sangat penasaran segera saja membuka dan membaca suratnya. Seperti yang kubilang tadi, membacanya butuh kekhusyukan. Meski tulisannya tak tertulis dengan huruf yang sempurna, namun setelah membacanya ku tahu ia menulisnya dengan segenap hati yang sempurna. Suratnya berisi banyak pantun. Benar saja. Karena saat perkenalan di kelas, aku mengatakan bahwa aku sangat menyukai pantun. Ku dengar anak-anak di kampung itu sangat pandai membuat pantun. Di halaman sebaliknya, aku membaca dengan ‘khidmat’, karena hurufnya sulit terbaca. Hehe... Tapi di situlah kadang saya merasa terkesan. 

kaka Miya, doakan saya, kaka. Agar saya bisa menjadi kebanggaan orang tua dan bermanfaat untuk keluarga. Doakan saya kaka, agar saya bisa berjilbab seperti kaka Miya, menjadi seperti kaka Miya

Isi suratnya memaksa mataku sedikit terbelalak. “Ha? Seriusan?” batinku. Aku hanya terkejut saja. Masa’ iya? Aku tak hafal isi selanjutnya. Sayangnya hanya itu yang bisa ku ingat. Namun ingatan yang tak banyak itu selalu membuatku rindu padanya. Kadang aku ingin menyangkal saat aku kembali rindu. Namun, dikatakan atau tidak, tetap saja rindu namanya.

Mila yang pemalu dan manis. Jujur, awalnya aku tak pede maksimal saat menyapa mereka di dalam kelas untuk pertama kalinya. Karena, aku khawatir penampilanku membuatnya asing. Aku yang tampil begini seperti aku pada biasanya, aku takut membuat mereka kurang nyaman bergaul denganku. Sempat aku menjadi penakut seperti itu. Namun, ternyata tak begitu kenyataannya. Benar memang, ketakutan adalah pikiran yang belum pasti terjadi. atau mungkin memang benar pula, ketakutan tak ubahnya keberanian yang kita belum siap dengan resikonya. Entah apa itu ketakutan, yang jelas Mila dan anak-anak sebayanya telah berhasil menghanyutkan ketakutan pada diriku waktu itu dengan ombak kehangatan dan penerimaan yang mereka ciptakan.

Dan di situlah aku terkesan. Mereka begitu mudah menyambut keceriaan dan kehangatan yang kuberi dan membalas keceriaan dan kehangatan yang lebih lagi. Aku hanya tak menyangka.

Kenapa kemudian surat itu begitu terkesan? Seharusnya aku berterima kasih pada Mila. Lantaran suratnya, aku menjadi lebih siap jika bertemu dengan mereka. Sekantong ceria yang telah kusiapkan dari Jogja agaknya akan sia-sia jika aku masih ragu dan tak siap bergerumul dengan mereka. Mila bilang, ia ingin berjilbab seperti ku berjilbab. Di saat di sini hampir-hampir aku diejek ‘mbak-mbak yang seperti emak-emak’ hanya karena pakai jilbab besar dan gamis. Ternyata di sana, di pelosok sana, ada anak yang baru pertama kali ku kenal, ia ingin memakai seperti apa yang kupakai. Apakah aku saat itu langsung berkoar-koar tentang kewajiban jilbab bagi perempuan muslimah? Tidak. Aku tak menyinggung-nyinggung tentang itu untuk pertama kalinya. Jelas, setidaknya aku tahu tempat dan tahu waktu. Kapan harus mengatakan apa dan bagaimana. Apakah aku langsung menunjukkan tutorial jilbab waktu itu? Ini juga tidak. Di sana aku dan kawan-kawan satu tim sebagai tamu. Tamu haruslah tahu kondisi terlebih dahulu.

Lalu apa yang ku lakukan? Entahlah. Aku hanya menyapa mereka seperti aku menyapa diriku di depan cermin setiap paginya. Aku hanya mempersembahkan sekantong keceriaan yang telah kupersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dan aku berikan seikat kehangatan yang memang ini kuniatkan untuk mereka. Saat pertama kali menyapanya, aku membatin, “inikah mereka yang telah ada di dalam doa-doaku selama ini? Inikah wajah-wajah yang sebelumnya telah bertemu dalam doa? Mereka kah doa-doa ku yang terkabul?”

Tentu selama berjuang agar bisa sampai di Pulau itu, aku telah berdoa agar Allah menghendaki aku bertemu dengan mereka dan menyapanya. Aku tak tahu nama-nama mereka. Aku tak tahu wajah-wajah mereka sebelumnya. Yang ku tahu, mereka telah kusebut dalam untaian doa-doaku sebelumnya. Begitulah Allah Maha Pemurah yang mengabulkan doa-doa yang menganak tangga dan melangit. Dari pengalaman itu, aku tersadar. Bahwa memang, akhlak adalah salah satu kuncinya. Berbuat baik dengan sebaik-baik kelakuan akan membuka seluas-luas penerimaan.

Setelah hari itu, aku semakin akrab saja dengan Mila. Tak hanya dengannya, dengan anak-anak sekampung pun sangat begitu dekat dan akrab. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang kesederhanaan, tentang kebahagiaan yang tak mahal. Bahwa hidup itu sederhana. Belajar dengan siapa saja, dan berbagi apa yang kita punya.

Mila melepas tangis saat perpisahan dengan tim KKN UGM

Tentang Mila, ia sangat ingin sekali menjadi polisi wanita alias polwan kelak. Namun keluarganya menginginkan Mila menjadi perawat/bidan saja. Namun aku berharap, semoga kelak engkau menemukan pilihan yang seharusnya kau jalani, Mila. Entah menjadi apapun, semoga kau bisa menjalankan tugasmu sebagai mana seharusnya manusia di bumi. Tak begitu muluk harapku. Semoga kau bermanfaat untuk dirimu dan orang lain. Tentu manfaat yang mengular panjang. Tak hanya berujung di jalan dunia, tapi manfaatnya sampai menguntai hingga ke syurga kelak. Karena kita adalah manusia yang percaya hidup tak sekedar dimana kita dilahirkan saja. Berpisah dengannya pun berurai air mata. Ia tak sanggup lagi menahan sedih yang memuncak dalam jiwa. Lalu aku? Agaknya, aku bisa sedikit menahan ketidak sanggupan untuk berpisah waktu itu. Menangis? Tentu. hanya satu-dua tetes yang tak bisa kutahan hingga akhirnya berlinang di pipi. Sekarang saat semua itu masih terkenang, saat aku mencoba mengingat satu-dua kata yang pernah membuat kita bahagia.. Saat aku menutup mata, rasanya seperti aku berdiri di dermaga dengan angin senja yang menerpa. Aku rindu.

Mila, semoga suatu saat Allah masih mengijinkan kita bersua.


@mkusmias yang masih memupuk rindunya


Setiap jaman selalu memunculkan istilah unik yang menjadi kosa kata baru di kalangan khalayak ramai. Mungkin lidah menemukan lekukan baru pada mulut sehingga memunculkan gaya bahasa yang belum dikenal pada masa sebelumnya.

Suatu saat, as usual, ane berselancar di lautan maya melalui surfboard akun sosmed. Salah seorang teman yang saya sendiri juga tak begitu kenal dengannya, you know di dunia maya kita bisa “berteman” dengan seseorang yang kita sendiri tidak pernah tahu wajah dan wujudnya.

“ah kamu sih baper..”, ejeknya di kolom komentar. Di jejaring sos-med lain lagi-lagi ane menemui, “mungkin gue terlalu baper kali ya”, celoteh pengguna sebuah akun. Hari-hari itu memang lagi marak istilah ‘baper’.

Awalnya ane bertanya-tanya, Baper ki makanan opo sih jane? (read: Baper itu makanan apa sih sebenernya?). But, tidak terlalu lama, lalu ane tahu apa itu baper. Ealah,, baper ki kepanjangan dari ‘Bawa Perasaan’ tho. Hmmm.... anak muda jaman sekarang. Sebenarnya pada pinter-pinter, selalu bisa nemuin kosa kata baru.

Baper alias bawa perasaan selalu dikait-kaitkan saat seseorang terlalu sensitif menanggapi suatu kejadian/sikap/perkataan orang lain. Ya dikit-dikit sensitif gitu. Saat ada yang bilang, “eh ternyata kamu perhatian juga ya?”, trus baper sampe hatinya melambung tinggi. Saat dibilang, “mbok ya kamu itu kalau dateng agak pagian dikit kenapa, biar engga telat terus.” Lalu, nyalinya ciut di depan rekannya itu, baper sih. Saat kamu nyapa temen, tapi dasar nasib malah dicuekin, trus kamu jadi mrengut, sedih, kebingungan, gak enak mau basa-basi lagi. Baper sih. Hehe... nah situasi yang terakhir ini yang ane pengen cuap-cuap sedikit.

Dulu, duluuu banget, ane suka baper, alias bawa perasaan. Seringnya ane jadi engga enak kalau teman udah mulai gak nyahutin basa-basi ane. “si fulan ini kenapa ya? Kok kaku banget ya diajak ngobrol, kemarin-kemarin engga. Ane salah apa ya?”. Atau, “kok dia ngomongnya agak keras gitu sih sama gue. Jadi kepie banget deh.” Contoh lain, “dia tadi pas rapat kok kayaknya menjurus nyindir gue deh” dan baper-baper yang lain. Well, wajar sih ya tetiba kita suka mbatin begitu. Lepas dari bener atau salah persangkaan kita, ya wajar aja karena kita punya hati, punya perasaan. Nah itu sebabnya diistilahkan dengan ‘bawa-bawa perasaan’.  Ya secara, kita makhluk hidup bernama manusia, selain memiliki ciri-ciri bisa bergerak, bernafas, berkembang biak, memerlukan makanan, ekskresi, peka terhadap rangsang, tumbuh dan berkembang (udah kayak belajar biologi aja), selain 7 ciri-ciri itu kita juga punya tambahan satu ciri lagi, yaitu mempunyai perasaan. Mempunyai apa? Pe-ra-sa-an. Yap, perasaan.

Hanya saja, setelah kita suka baper dengan situasi-situasi yang kurang mengenakkan itu, seringnya kita jadi berubah sikap hanya karena menuruti persangkaan yang belum tentu bener. Nah sayangnya, kita lebih sering merubah sikap kita jadi lebih tidak mengenakkan lagi. Ya gak? Misalnya, hanya karena temen kita ngomongnya agak tinggian nadanya, lalu sesampainya di rumah kita jadi nangis sesenggukan di kamar, kamarnya dikunci pula. Hehe.. padahal mungkin aja temen kita itu lagi mau dapet tamu bulanannya, biasalah wanita, ada saatnya hormon di dalam tubuhnya merubah sikapnya. Hehe. Atau mungkin saja dia bukan meneriaki kita, tapi temen yang waktu itu duduk pas di sebelah kita. Nah lho baper sih..

Atau, yang awalnya kita ceria sekali dan pengen buat temen-temennya ikut ceria, hanya karena ada temen yang cuekin, lalu kita jadi ciut. Mak nyuttt, mendadak langsung jadi pendiam. Padahal bisa saja dia lagi penasaran sama hal lain, alhasil kurang memperhatikan kita. Nah lho baper sih. Sampe seringnya baper, salah satu temen ane sering bilang, ‘makanya jangan pake hati, hatinya ditinggal di kos aja”.

Dan ternyata, kalau kita perhatikan, baper yang buruk itu tidak jauh beda dari prasangka buruk, ya? Atau jangan-jangan persangkaan buruk itu yang bikin baper (?) entahlah. Yang jelas keduanya kurang baik. J

Nah ngomongin soal baper, saya jadi kepikiran, baper itu sebenarnya engga buruk-buruk amat kok. Asal ditempatkan pas pada tempatnya. Nah apa itu? Menurut ane, itu sama halnya dengan energi, akan jadi negatif kalau kita salah menempatkan. Sebaliknya, tentu akan bermanfaat saat menempatkan di tempat yang pas. Lha terus, kemana kita mesti menempatkan ‘baper’ ?

Baper, alias bawa perasaan sangat cucok alias cocok dihadirkan saat kita ‘ketemu’ dengan Sang Pencipta. Saat apa itu? Yaps, betul banget, saat kita beribadah dan mendekat pada Allah. Kira-kira begini, baperlah, bawalah perasaanmu saat kita bermunajat kepada Allah. Saat kita berdoa, baperlah dan munculkan rasa bersalah karena memang kita makhluk pendosa. Itulah sebaik-baik baper.


Saat berdoa pada Allah, baperlah, bawalah perasaanmu, karena kita khawatir jika doa kita tidak diijabah, dan baperlah dengan sangat-sangat berharap penuh keyakinan kalau Allah Maha Mengabulkan do’a.

Saat kita sholat, baperlah, bawalah perasaanmu seakan-akan Allah tepat berada di hadapan kita. Saat sholat, baperlah karena Allah Melihat gerakan kita sehingga muncul perasaan ihsan. Baperlah, bawalah perasaanmu saat kita diberi rejeki yang lebih berlimpah, sehingga kita ingat dengan saudara-saudara kita di bumi belahan lain yang kurang beruntung kehidupan dunianya, sehingga kita tergerak untuk mensedekahkan sebagian harta kita.

Baperlah, bawalah perasaanmu saat seseorang menasehati dengan nasehat yang mulia sehingga kita bisa merenung dan berfikir lalu menjadi lebih baik karena nasehatnya. Baperlah, bawalah perasaanmu saat kita berada di tengah-tengah anak-anak sehingga mereka merasakan kedamaian dan keriangan karena kehangatan dan kasih yang tercurah dari diri kita.

Baperlah, bawalah perasaanmu saat lisan kita mengucap kalimat-kalimat dzikir, sehingga kita begitu larut dalam pemaknaan dzikir kepada Allah itu. Dan baperlah, bawalah perasaanmu saat kita melakukan kebaikan, agar kita bisa merasakan makna yang begitu dalam di setiap kebaikan yang kita usahakan.


The last, baperlah saat kamu membaca postingan ini. :D, kalau belum ngrasa agak gimana gituh saat baca postingan ini, mungkin Anda belum baper (?). hehe... 


ilustrasi

Ada sebuah kekata yang berbunyi, “Penulis itu pekerjaan setiap saat. Saat ia tak menulis di atas lembaran putih, saat itu pula ia sedang menulis manusia.” Menulis manusia berarti mendidik manusia, mengajari manusia, sehingga di dalam manusia didikannya itu tertanam nilai-nilai yang telah diajarkan oleh sang ‘penulis’. Karena sungguh, menulis di atas lembaran putih ataupun menulis manusia sama-sama penting. Sekali lagi, PENTING!

Ngomong-ngomong soal menulis manusia atau mendidik manusia, saya inget kisah ini. Di salah satu kesempatan saya mengajar, ada salah satu siswa berkomentar, “Us, itu gak penting dihapalin, Us. Gak ditanya malaikat kok nanti.” Kira-kira begitu tanggapan siswa berpostur agak gemuk bernama,,, sebut saja Jaguar, bukan nama sebenarnya. :D. Saat itu saya mengajar Biologi Bab Klasifikasi Makhluk Hidup. Yah, namanya juga klasifikasi, pastinya nyebutin nama-nama ilmiah tanaman dan hewan, yang nama-namanya bikin lidah sering kepleset saking susahnya disebutin. (Xixixi). Saya bertanya-tanya, kok bisa ya anak-anak masih berfikir seperti itu, apalagi beberapa temen-temennya meng-iya-kan perkataan Jaguar, "iya Us... gak penting kok." Saya berasumsi, kecil kemungkinan  anak-anak ini bisa berfikir seperti itu 'sendiri'. Tentu buah pikiran seperti itu bisa jadi berasal dari pola pikir keluarga, atau bahkan sistem yang berada di sekolah tempat mereka menimba ilmu? Karena, sistem entah di keluarga ataupun sekolah pasti akan melahirkan minded yang akan diikuti. Lalu saya bertanya-tanya, adakah yang salah dari pola pikir bawaan keluarga, atau mind set dari sekolah?

ilustrasi

Dalam hati sebenernya mau nimpalin, “ya keles kayak gitu ditanyain malaikat di alam barzah ntar . kaga ade ceritanya nak...”. Untung ane masih sadar kalau ane disebut guru di kelas itu. Jadinya masih inget kudu bilang, “iya sholih, malaikat ntar gak nanya kamu Homo sapiens atau bukan. Tapi dari sini kita kudu bisa berfikir, dari Ilmu Biologi yang sekarang kita pelajari ini bisa mengenal Allah apa engga? Trus, kita bisa manfaatin apa dari belajar Biologi? Jadi ilmu dunia itu juga perlu dipelajari ya sholih, agar bisa diambil manfaatnya. Kalau ntar jadi peneliti kan bagus kalau bisa jadi peneliti yang selain pinter tapi juga hafidz. Kalau ntar jadi dokter, kan bagus kalau dokternya selain pinter juga sholih. Insyaa Allah malah jadi sarana ber?? Ber apa? Berdakwah.... Kalau di tempat kita banyak dokter yang hafidz, banyak insinyur yang dekat sama Allah, akuntan yang sholih, ujung-ujungnya siapa yang diuntungkan? Kan kita sendiri.”

Oke, ngomong-ngomong soal sekolah, sekarang alhamdulillah sudah banyak berdiri sekolah-sekolah Islam Terpadu, sering disingkat ITe. Sekolah IT bisa jadi adalah sebuah alternatif kalau kita ragu memasukkan anak-anak ke sekolah negeri, kalau kita mengkhawatirkan asupan keagamaan di sekolah negeri yang masih minim. Atau jika beranggapan bahwa sekolah negeri lebih banyak mengadopsi sistem sekolah sekuler. Sekolah IT memang seharusnya menjadi alternatif. Dan seharusnya kita memang kudu berbangga karena sekolah-sekolah IT semakin menjamur di negeri ini. Itu artinya, banyak kaum muslimin yang semakin bersemangat untuk menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dan kultur keagamaan melalui sekolah formal. Bahasa Muhammadiyyah-nya; berkemajuan.

Tapi sangat disayangkan, jika niatan itu terkesan setengah-setengah, belum sepenuh hati. Misalnya fenomena anak yang masih berfikir seperti penggalan kisah saya saat mengajar seperti di atas. Nampaknya masih ada yang perlu dikoreksi dari sistem sekolah IT. Yeah, may be,....

Jika ‘keberatan’ dengan sistem sekolah negeri yang dinilai sekuler, karena memisahkan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan umum, seharusnya sekolah IT memang benar-benar menjadi alternatif sekolah yang tidak terkesan seperti sekolah sekuler. Toh ‘Islam Terpadu’ yang disematkan dibelakang nama sekolah itu sendiri bermakna menyatu-padukan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum agar diilmui secara menyatu, berkesinambungan, berkaitan, tidak terpisah-pisah, dan tidak sekuler.

Saya khawatir, jika pada prakteknya, kita sebagai orang tua ataupun guru, masih menganggap ilmu pengetahuan umum itu tidak penting lalu berkata kepada anak-anak atau murid-murid kita, ‘anak-anak, ilmu umum gak usah diseriusin gak papa, itu gak penting, nanti gak ditanya malaikat di alam kubur. Yang penting bisa baca dan hafal qur’an aja.” Mmmm.... Selain sedih jika masih ada yang bertutur begitu, saya juga khawatir. Tentu saya sedih, seolah saya jadi ciut, karena basik saya di bidang ilmu eksak. Gelar saya bukan Sarjana Agama. Pun saya khawatir, jangan-jangan kita belum sepenuh hati membangun sekolah dengan label Islam Terpadu. Saya juga khawatir, selama ini kita sering menilai sekolah negeri itu sekuler, jangan-jangan kita sendiri juga bisa dinilai sekuler tanpa sadar, karena menganggap ilmu pengetahuan umum tak penting dipelajari dan tidak ada manfaatnya untuk Islam, atau setidaknya memandang sebelah mata ilmu pengetahuan umum sehingga terkesan masih memberi sekat antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Bukankah itu sama-sama sekuler? Sama-sama memisahkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Lalu, untuk apa ikut ‘latah’ bahu membahu mensukseskan sekolah islam terpadu jika tak konsisten antara nama dan tujuan? untuk apa? :) #kalem

Sebagai orang tua ataupun guru yang baik pasti setuju bahwa semua ilmu itu bisa bermanfaat. Jika saat ini belum banyak yang menyuarakan dan membuktikan manfaat ilmu pengetahuan umum untuk islam, bukan berarti tidak ada manfaatnya. Mungkin kita sendiri sebagai orang tua ataupun guru belum berhasil menjelaskan dan memahamkan anak bahwa semua ilmu itu sama-sama penting dan memiliki banyak manfaat. Ilmu dunia penting dicari, sedangkan ilmu agama penting dipelajari. Karena pada hakikatnya, ilmu itu milik Allah. Sedangkan peran kita adalah mempelajari dan memanfaatkan ilmu yang kita miliki semampu yang kita bisa. Bukan begitu?

Ibarat pisau, ilmu itu tergantung siapa pemiliknya, bukan? Jika pemiliknya adalah good person tentu pisau itu akan menjadi manfaat yang berlimpah, at least buat ngrajang bawang di dapur. Sebaliknya, jika pemiliknya seorang preman, tentu pisau akan dipakai untuk berbuat kejahatan, minimal buat malak. Hehe.

Jadi, jika kita adalah pihak yang ingin memberikan alternatif pendidikan berupa sekolah IT alias Islam Terpadu, maka sebaiknya kita mengembalikan makna IT itu sebagaimana khitohnya. Tidak mendiskreditkan ilmu pengetahuan umum, pun juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Toh saya yakin, kita semua sedang mengusahakan yang terbaik untuk agama yang mulia ini dan untuk generasi penerus kita di negeri ini. Meski kadang kita sering lupa main purpose yang kita perjuangkan. Bukankah kita kudu saling mengingatkan? :) Anggap saja dengan ini saya sedang bercermin karena toh kenyataannya saat ini saya juga terlibat di dalam instansi pendidikan berbasis islam terpadu itu. Juga, anggap saja cermin yang saya pakai itu adalah cermin yang lebar binggo alias gede banget, bisa dipakai nyermin berjama’ah. Anggap saja saya juga sedang mengingatkan kembali khitoh pendidikan untuk muslim yang ideal, meski saya belum begitu expert bidang pendidikan. Ini sebatas yang baru bisa saya pikirkan dan ketahui. So, jangan takut jika ada yang mengoreksi. Semua akan baik-baik saja jika masing-masing niatnya memang untuk menjadi lebih baik.

The last, saya ingat betul yang disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “pendidikan tidak hanya mencetak orang-orang baik. Lebih tinggi lagi, pendidikan mencetak orang baik yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan ilmunya bisa bermanfaat untuk agama maupun untuk orang lain.”

Wallahu a'lam.

al-faqir ilallah,
@mkusmias dengan teh hangatnya





Hal yang paling membahagiakan dalam hidup ini adalah saat Allah selalu mengurus kehidupan kita. Sungguh membahagiakan apabila Allah selalu hadir dalam masalah-masalah kita dan membawakan kemudahan untuk kita. Sangat menentramkan apabila Allah menjamin kesejahteraan kita. Allah menjamin rejeki kita. Allah mengurus keperluan kita. Dan yang tak kalah penting adalah, Allah selalu mencukupkan keperluan kita. Dalam sebuah ayat Allah berfirman,

"Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya". [Ath-Thalaq : 3]

Dialah orang-orang tawakal yang Allah urus hidupnya. Ya, tawakal adalah kunci agar Allah datangkan pertolongan-Nya. Tawakal adalah ketentuan yang harus ada pada diri seorang mukmin agar Allah selalu membersamai hidupnya. Tawakal akan datang dalam diri jika iman sudah bersemayam dalam jiwa.

 … dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).

Dengan bertawakal, bukan hanya Allah akan memudahkan urusan seorang hamba yang mukmin. Namun, Allah akan menutupi dari kesusahannya, serta memelihara dari kejahatan manusia serta melindunginya. Seperti mudahnya Allah melindungi rasulullah saw dari makar Bani Nadhir yang hendak memberi celaka pada diri rasulullah saw. Allah melindungi Rasullullah saw karena Rasulullah telah tawakal sepenuhnya kepada Allah Dzat Yang Maha Melindungi.

Dengan tawakal yang bersemayam dalam dada seorang mukmin, tak ada sesuatu di dunia ini yang membuat resah hati. Tak ada sesuatu yang membuat gundah diri. Tak akan ada. Hati tak akan resah jika jodoh belum bertemu. Tak kan gundah jika rejeki banyaknya hanya segitu. Karena orang-orang yang takut dengan rejeki, takut tak bertemu jodoh, takut tak punya anak, takut banyak anak, takut tak bisa makan, takut tak berkuasa, takut akan hal-hal yang belum didapat di dunia, sesungguhnya ia bukannya kurang apa-apa, hanya kurang iman dan tawakal yang tumbuh dalam dadanya.

Orang yang sibuk memikirkan dunia hingga menyita pikiran, ia tak akan mendapat apa-apa kecuali lelah, penat dan, stress semata. Kenapa bisa stress? Karena ada tambatan lain selain Allah Shubhanahu wa Ta’ala. Karena ada tandingan lain di dalam hatinya selain Allah Yang Maha Perkasa. Hidupnya jadi tak terurus karena Allah berpaling darinya. Allah jauhkan ketenangan jiwa krn ia menduakan Allah dalam hatinya. Allah memalingkannya dari keberkahan hidup karena ia tinggalkan tawakal. Hingga Allah akan memalingkan hatinya dari sakinah. Hidupnya semakin sulit, semakin jauh dari Allah. Penyebabnya ialah ia tinggalkan tawakal pada Allah. Ia masih menyandarkan hidupnya kepada selain Allah.

Oleh karenanya, jika kita ingin diurus oleh Allah, dimudahkan urusan kita, dicukupkan keperluannya, dihindarkan marabahaya, maka kuncinya satu, yaitu tawakal. Tentang tawakal, jangan sampai pemahaman kita terpental. Tawakal itu bukan hanya pasrah tanpa usaha. Tawakal pun bukan berarti pasrah setelah berusaha. Karena hakikatnya, tawakal itu bukan hanya dipenghujung cara. Namun tawakal itu bergantung pada Allah sepanjang cara menjalankan asa. Tawakal ialah milik orang-orang yang sungguh-sungguh ikhtiarnya. Lihatlah bagaimana Hajar ibunda Ismail yang ditinggalkan suaminya, Ibrahim, di lembah baka. Tak ada pohon, tak ada orang. Hajar berlari-lari antara Shofa-Marwa hingga 7 kali. Hajar sungguh-sungguh berikhtiar kepada Allah dan Allah mengucurkan mata air di bawah kaki Ismail.

Begitu pun teladan dari orang yang paling tawakal, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum hijrah, ia shalallahu ‘alaihi wa sallam atur strategi terlebih dahulu. Saat perang Uhud, rasulullah tak meninggalkan musyawarah, memakai baju lapis besi, dan mengatur pasukan. Padahal rasul tahu bahwa tak kan ada luka di tubuhnya kecuali atas ijin Allah. Begitulah tawakal yang telah diajarkan. Dengannya (tawakal) Allah memudahkan urusan kita. Dengannya, Allah jauhkan kita dari bahaya. Dan karenanya (tawakal) Allah mengurus kehidupan kita.


Wallahu a’lam bishowab.

Seperti peribahasa “tak ada gading yang tak retak”, mengibaratkan bahwa tak ada yang selalu sempurna di dunia ini. Pun manusia. Meski pernyataan ini terkesan klise, namun kebenarannya masih saja selalu berlaku. Bahwa manusia memang tak ada yang selalu berbadan harum dan berbaju putih. Maksudnya, manusia memang tak ada yang bersih dari kesalahan dan dosa. Kita pernah, bahkan sering terlanjur berbuat dosa. Sadar atau tidak. Sengaja maupun ada niatnya.
ilustrasi

Di sana, ada sebuah tempat yang selalu tersebut dalam do'a, terucap di dalam pengharapan, menjadi ujung dari setiap permintaan, dan oleh jiwa selalu dirindukan. Benar, ia adalah surga, kampung halaman Adam dan keturunannya. Tempat asal manusia yang sebenarnya. Maka di sanalah seharusnya tempat kembalinya manusia.

Jika Allah adalah Dzat Yang Maha Kuat (Al-Qowiy), maka manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan keterbatasan, salah satunya kelemahan. Fitrahnya, manusia sesungguhnya memiliki kecenderungan untuk mengakui ketidakberdayaannya. Namun, tak semua manusia mau mengakuinya. Manusia-manusia yang terjebak dalam ketidak mauan untuk mengakui ketidak berdayaan mengakibatkan benih-benih kesombongan muncul dalam jiwanya. Maka sifat sombong bukanlah sifat yang terpuji dalam islam karena ia menafikkan fitrahnya akan ketidak mampuan. Bahkan Allah memberi sanksi keras untuk orang-orang yang sombong,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” (H.R Muslim)

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)

Orang sombong yang menafikkan ketidakberdayaan akan jauh dari rasa bahagia. Ia menganggagap dirinya selalu kuat padahal lemah. Ia menganggap dirinya serba mampu padahal ada kalanya ia tak kuasa. Ia tak mau disebut lemah. Ia tak mau dianggap tak berdaya. Padahal, kebahagiaan hidup manusia justru muncul dari sisi ketidakberdayaannya. 

Misalnya, orang yang sedang merindu sebenarnya dalam situasi seseorang yang tidak mampu,  yaitu tidak mampu untuk bertemu. Ia ingin bertemu dengan orang yang dirinduinya namun ia tak mampu karena terpisah jarak dan waktu. Maka dalam kerinduannya itu ia dapatkan perasaan bahagia.

Seorang suami yang meninggalkan istrinya beberapa hari untuk suatu keperluan, misalnya. Pada dasarnya, ia mengalami kondisi tidak berdaya akhirnya berpisah dengan istrinya. Ketidakberdayaannya itulah memunculkan cinta yang luar biasa. Demikian juga yang terjadi pada sang istri.

Contoh lain, orang yang menangis bahagia adalah orang yang bahagia karena ketidakmampuannya. Ia bahagia lantaran baru saja bertemu. Ia bahagia karena dapat bertemu, dan menangis karena takut untuk berpisah kembali. Perasaan takut tak bertemu kembali ini muncul karena ia menyadari bahwa dirinya tak berdaya untuk selalu bertemu sepanjang waktu. Ini hal yang menarik. Maka, letak kebahagiaan seorang muslim yang hakiki adalah saat ia mengakui ketidakberdayaannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dia adalah Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuat. Allah adalah Dzat yang Maha Mampu. Sedangkan manusia tidak. Allah adalah Dzat yang Maha Kuasa, sedangkan manusia tidak. Jika manusia benar-benar sadar akan hal ini, kebahagiaan adalah sesuatu yang mudah melekat pada hatinya.

Allah menyuruh manusia untuk berdoa agar manusia ingat ketidak mampuannya. Ketika berdoa manusia memposisikan dirinya dalam keadaan tidak berdaya. Disitulah letak kebahagiaan hidup seorang hamba jika ia mau merenungi. Allah mengilhamkan kebahagiaan dalam relung jiwa orang-orang yang mau merendahkan diri di hadapan Allah dan menyadari ketidak berdayaannya. Allah mengilhamkan kebahagiaan dalam hidup hamba-hamba-Nya yang mau berdoa karena Allah akan mengabulkan do’anya jika ia mau meminta.

“Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Q.S Al-Mukmin : 60)

Lantaran ketidak berdayaan pula, manusia selalu bergantung pada Dzat yang Maha Berdaya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah yang Maha Kuat tak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya yang lemah.

“Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
(Q.S Al-Ikhlas : 2)

Maka, rendahlah diri kita dan akuilah bahwa kita tidak berdaya. Saat kita berdoa dalam keadaan mengakui bahwa diri kita tidak berdaya tanpa adanya kuasa Allah, maka disitulah letak kebahagiaan yang sejati.

Wallahu a’lam bishowwab






Datang dan pergi memang sudah menjadi pasangan abadi. Ketika “datang” telah ada, waktu pasti akan melaju hingga tiba giliran “pergi” menghampiri. Hampir lima tahun sudah, aku menjadi warga Jogja. Kuliah telah usai, kini tiba waktunya kembali pulang.

Ah, kenapa begitu berat meninggalkan kota ini.
Damin "merusuh" saat kami sedang menyiapkan salah satu program KKN 


Hampir satu tahun sudah aku mengenalnya. Rambutnya keriting, kulitnya hitam meski tak pekat, dan suaranya terdengar berat. Damin, namanya, bocah kecil yang kukenal di Kampung Fafanlap, Misool, Raja Ampat. Aku mengenalnya saat KKN di kampung yang kini selalu kukenang, Fafanlap.


Tepat tanggal 26 Juni 2015 lalu, Mahkamah Agung Amerika Serikat resmi memutuskan bahwa pasangan sejenis di seluruh negara bagian di Amerika Serikat memiliki hak untuk menikah. ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi Amerika, terutama oleh kelompok yang menuntut kebebasan menikah pasangan sejenis.

Tak hanya mereka, banyak pihak yang ikut ‘merayakan’ putusan dari hasil perbandingan 5:4 suara itu, termasuk Mark pemilik Facebook.

“Celebrate Pride” namanya. Tool yang disediakan Facebook yang memungkinkan para penggunanya mewarnai foto profil mereka dengan warna-warni seperti pelangi.
Banyak yang kemudian menambahi warna-warni pada foto profil di akun Facebooknya. Entah mereka tahu maksud warna-warni itu atau hanya sekedar latah karena memanfaatkan tool yang baru disediakan Facebook.


Sedih memang. Bagi muslim yang percaya dengan kisah Al-Qur’an yang pernah terjadi di masa lalu tentang azab yang menimpa kaum Luth, sangat menyayangkan putusan Mahkamah Agung Amerika tersebut. Tentu tak ingin negara di dunia ini satu demi satu mendukung perbuatan nista itu dilegalkan. Amerika bukan negara yang kali pertama melegalkan perkawinan sejenis ini. sebelumnya telah didahului Belanda, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Selandia Baru, Irlandia, dll.

Bagi Anda yang muslim, pengguna facebook, plish tak perlu ikut-ikutan mewarnai foto profilnya, jika tak ingin dianggap mendukung “kemenangan’ itu. Hanya dengan mewarnai saja bisa dianggap mendukung? ya, setidaknya itu termasuk menyerupai mereka pejuang bendera warna pelangi itu.

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (H.R Abu Daud)

Sungguh aneh memang. Jaman semakin modern dan waktu semakin bergerak maju. Tapi tingkah dan pola pikir manusia justru semakin terbelakang. Sudah pernah Allah mengazab perilaku manusia di jaman dahulu yang melegalkan kawin sejenis semacam ini. Apakah Amerika dan negara-negara yang melegalkan perilaku menyimpang ini ingin ditayangkan secara live azab Allah dinegeri mereka? Naudzubillah..

“maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri Kaum Luth itu yang atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan (batu belerang) tanah yang terbakar secara bertubi-tubi.” (Hud: 82)


Itulah produk kebebasan yang kebablasan. Liberalisme tak mengenal batas. Sekarang mereka melegalkan kawin sejenis. Besuk mereka menagih kebebasan dengan melegalkan kawin dengan hewan. Na’udzubillah. 
#sayNoToLGBT