“Bahagia itu sederhana,” tulis
seorang teman yang mengunggah sebuah foto momen bahagianya. “Bahagia itu
sederhana; bisa makan bersama dengan keluarga” lanjutnya pada sebuah postingan
foto dengan background rumah makan bersama menu-menunya yang tergolong mewah.
Lagi, sebuah status yang
membersamai sebuah postingan foto, “bahagia itu sederhana; jalan-jalan bersama
orang terkasih.”. Foto yang diambil adalah moment bahagia bersama orang yang ia
kasihi dengan background pemandangan yang elok nan menawan. Kira-kira, menuju
tempat itu pun butuh mengeluarkan receh yang tak hanya seribu dua ribu.
Dan saya pun manusia yang tak
luput dengan rasa kebahagiaan dan sesumbar kata yang sama, “bahagia itu
sederhana. Bisa kembali lagi bersua dengan mereka,” sambil memposting sebuah
foto kebersamaan dengan anak-anak kecil di pelosok Papua dengan berlatarkan
pemandangan laut yang indah nan mempesona.
Setidaknya, saya yakin bahwa sesederhana
itulah sebuah bahagia. Hingga saya mengalami satu peristiwa yang membuat saya
bertanya-tanya tentang kebenaran bahagia yang sederhana versi saya itu.
Ceritanya seperti ini:
Seperti biasa, saya pulang dari daily activities sekitar pukul empat
sore hari. Seperti biasa pula, saya melewati rute yang sama menuju pulang.
Meninggalkan bilangan Jalan Veteran, berbelok ke arah STAIMUS Surakarta,
sengaja nyidat memang. Setidaknya,
baru itu jalan nyidat yang kutahu.
Saat hendak membelok ke arah barat (ke kanan dari arah STAIMUS Ska), di
perempatan sebelah utara SMK Farmasi Surakarta, seorang bapak-bapak penertib
kendaraan membubarkan kantukku saat berkendara. (Hmm,,, saya masih sukar
menghilangkan rasa kantuk saat berkendara. Sebenarnya agak berbahaya sih. Luputnya mengantuk, ya melamun. Ini
juga kudu dihindari sebenarnya. Entah
ya, kenapa ramainya jalan justru cozy
banget buat menghimpun lamunan. Hehe.. Astaga…)
Bapak penertib kendaraan yang
berlalu lalang itu menggerakkan tangannya memberi isyarat silakan lewat. Dengan suara yang ramah, ia menyapa,
“assalamua’alaikum, yak hati-hati...”
Wajahnya tertutup slayer hitam dan berkacamata. Kepalanya ditutupinya dengan
topi hitam. Beberapa ubannya yang terlihat mencuat keluar menandakan kira-kira
bapak itu berusia paruh baya. Saya tak begitu menghiraukan sapaan si bapak.
Hari berikutnya, terjadi
peristiwa yang sama. Aku yang tak begitu hirau, melaju saja seperti biasa.
Sampai di perempatan kecil itu, saat hendak membelok ke arah barat, kembali aku
mendengar sapaan si bapak yang tempo hari menertibkan lalu lalang kendaraan.
“Yak hati-hati di jalan, Assalamua’alaikum…”
sapanya dengan suara yang terkesan sangat ramah.
Masih tak begitu kuhiraukan.
Namun, saat aku melintas di bilangan Jalan Yos Sudarso itu untuk ketiga kalinya
dan seterusnya, dengan sapaan yang hampir sama dari bapak-bapak bersuara ramah
itu, saya lalu sedikit bertanya-tanya. Dan kini, hampir setiap hari saat saya
melintas di jalan itu, hampir setiap hari pula kutemui sapaan yang sama. Kulihat
si bapak itu menyapa hampir ke setiap orang yang lewat pula. Namun jika aku
atau pengendara wanita berjilbab lebar, atau lelaki yang keliatan nyunnah secara lahirnya yang melewat, si
bapak selalu menyelipkan, “Assalamu’alaikum” di awal sapaannya.
Yeah, sapaan yang sedikit menghiburku
saat kelelahan setelah beraktivitas seharian mulai menggerogoti semangatku. The power of sharing, jika tidak
berlebihan boleh kukatan demikian. Meski hanya sebatas salam dan sapaan ramah. Setidaknya,
itu membuatku dan mungkin pengendara yang lain juga sedikit bersemangat setelah
tersapa. Setidaknya, yang tadinya rada
suntuk, menjadi sedikit tersenyum setelah tersapa. Setidaknya, yang awalnya rada badmood, datanglah goodmood setelah tersapa.
Yeah, I guess, kekata “bahagia itu sederhana”, agaknya lebih berkesan
saat si bapak penertib itu yang mengucapkan. Sesederhana mengucapkan salam ke
sesama, sesederhana melempar keramahan ke sesama. Barangkali bahagia yang
sederhana yang tepat seperti itu adanya. Aku sedikit tertegur kecil. Aku sering
mengucapkan bahagia itu sederhana,
namun untuk mencapainya tak sesederhana seperti mengucapkan. Aku bilang bahagia itu sederhana, tapi ungkapan itu
lahir saat bersama ayah makan di rumah makan yang tidak bisa dibilang
sederhana. Aku sering bilang bahagia itu
sederhana, dan menyelipkan kekata itu pada foto-foto pemandangan indah,
yang tentu pergi menuju pemandangan indah itu bukanlah hal yang sederhana.
Aku tertegur kecil. Si bapak
penertib tak pernah bilang bahwa bahagia itu sederhana. Tapi aku merasa aku
telah belajar the real mean of “bahagia yang sederhana” dari bapak yang selalu menyapa dengan sederhana. Bahwa memberi kebahagiaan itu sesederhana mengucap salam ke sesama. Bahwa membuat orang lain bahagia itu sesederhana kita memberi senyum ke sesama. Bahwa memang, cara membuat diri kita bahagia adalah dengan memberi kebahagiaan kepada sesama. Terima kasih Bapak penertib yang entah ku tak tahu namanya. ^_^
Di malam yang semakin pekat,
@mkusmias yang lagi insomnia
Terima kasih sudah berbagi ^^ Memang dalam hidup itu ada yg lebih penting dibanding harta dan tahta, yaitu BAHAGIA
ReplyDeleteBerkunjung juga ya ke blog saya http://bit.ly/ayomaubertanya dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak/komen di sana ;)
terima kasih mba Miftahul Falah...
Delete#jangan lupa bahagia .... :D ^^