Sederhananya Bahagia

, , 2 comments

“Bahagia itu sederhana,” tulis seorang teman yang mengunggah sebuah foto momen bahagianya. “Bahagia itu sederhana; bisa makan bersama dengan keluarga” lanjutnya pada sebuah postingan foto dengan background rumah makan bersama menu-menunya yang tergolong mewah.

Lagi, sebuah status yang membersamai sebuah postingan foto, “bahagia itu sederhana; jalan-jalan bersama orang terkasih.”. Foto yang diambil adalah moment bahagia bersama orang yang ia kasihi dengan background pemandangan yang elok nan menawan. Kira-kira, menuju tempat itu pun butuh mengeluarkan receh yang tak hanya seribu dua ribu.

Dan saya pun manusia yang tak luput dengan rasa kebahagiaan dan sesumbar kata yang sama, “bahagia itu sederhana. Bisa kembali lagi bersua dengan mereka,” sambil memposting sebuah foto kebersamaan dengan anak-anak kecil di pelosok Papua dengan berlatarkan pemandangan laut yang indah nan mempesona.

Setidaknya, saya yakin bahwa sesederhana itulah sebuah bahagia. Hingga saya mengalami satu peristiwa yang membuat saya bertanya-tanya tentang kebenaran bahagia yang sederhana versi saya itu.

Ceritanya seperti ini:
Seperti biasa, saya pulang dari daily activities sekitar pukul empat sore hari. Seperti biasa pula, saya melewati rute yang sama menuju pulang. Meninggalkan bilangan Jalan Veteran, berbelok ke arah STAIMUS Surakarta, sengaja nyidat memang. Setidaknya, baru itu jalan nyidat yang kutahu. Saat hendak membelok ke arah barat (ke kanan dari arah STAIMUS Ska), di perempatan sebelah utara SMK Farmasi Surakarta, seorang bapak-bapak penertib kendaraan membubarkan kantukku saat berkendara. (Hmm,,, saya masih sukar menghilangkan rasa kantuk saat berkendara. Sebenarnya agak berbahaya sih. Luputnya mengantuk, ya melamun. Ini juga kudu dihindari sebenarnya. Entah ya, kenapa ramainya jalan justru cozy banget buat menghimpun lamunan. Hehe.. Astaga…)

Bapak penertib kendaraan yang berlalu lalang itu menggerakkan tangannya memberi isyarat silakan lewat. Dengan suara yang ramah, ia menyapa, “assalamua’alaikum, yak hati-hati...” Wajahnya tertutup slayer hitam dan berkacamata. Kepalanya ditutupinya dengan topi hitam. Beberapa ubannya yang terlihat mencuat keluar menandakan kira-kira bapak itu berusia paruh baya. Saya tak begitu menghiraukan sapaan si bapak.

Hari berikutnya, terjadi peristiwa yang sama. Aku yang tak begitu hirau, melaju saja seperti biasa. Sampai di perempatan kecil itu, saat hendak membelok ke arah barat, kembali aku mendengar sapaan si bapak yang tempo hari menertibkan lalu lalang kendaraan. “Yak hati-hati di jalan, Assalamua’alaikum…” sapanya dengan suara yang terkesan sangat ramah.

Masih tak begitu kuhiraukan. Namun, saat aku melintas di bilangan Jalan Yos Sudarso itu untuk ketiga kalinya dan seterusnya, dengan sapaan yang hampir sama dari bapak-bapak bersuara ramah itu, saya lalu sedikit bertanya-tanya. Dan kini, hampir setiap hari saat saya melintas di jalan itu, hampir setiap hari pula kutemui sapaan yang sama. Kulihat si bapak itu menyapa hampir ke setiap orang yang lewat pula. Namun jika aku atau pengendara wanita berjilbab lebar, atau lelaki yang keliatan nyunnah secara lahirnya yang melewat, si bapak selalu menyelipkan, “Assalamu’alaikum” di awal sapaannya.

Yeah, sapaan yang sedikit menghiburku saat kelelahan setelah beraktivitas seharian mulai menggerogoti semangatku. The power of sharing, jika tidak berlebihan boleh kukatan demikian. Meski hanya sebatas salam dan sapaan ramah. Setidaknya, itu membuatku dan mungkin pengendara yang lain juga sedikit bersemangat setelah tersapa. Setidaknya, yang tadinya rada suntuk, menjadi sedikit tersenyum setelah tersapa. Setidaknya, yang awalnya rada badmood, datanglah goodmood setelah tersapa.

Yeah, I guess, kekata “bahagia itu sederhana”, agaknya lebih berkesan saat si bapak penertib itu yang mengucapkan. Sesederhana mengucapkan salam ke sesama, sesederhana melempar keramahan ke sesama. Barangkali bahagia yang sederhana yang tepat seperti itu adanya. Aku sedikit tertegur kecil. Aku sering mengucapkan bahagia itu sederhana, namun untuk mencapainya tak sesederhana seperti mengucapkan. Aku bilang bahagia itu sederhana, tapi ungkapan itu lahir saat bersama ayah makan di rumah makan yang tidak bisa dibilang sederhana. Aku sering bilang bahagia itu sederhana, dan menyelipkan kekata itu pada foto-foto pemandangan indah, yang tentu pergi menuju pemandangan indah itu bukanlah hal yang sederhana. 

Aku tertegur kecil. Si bapak penertib tak pernah bilang bahwa bahagia itu sederhana. Tapi aku merasa aku telah belajar the real mean of  “bahagia yang sederhana” dari bapak yang selalu menyapa dengan sederhana. Bahwa memberi kebahagiaan itu sesederhana mengucap salam ke sesama. Bahwa membuat orang lain bahagia itu sesederhana kita memberi senyum ke sesama. Bahwa memang, cara membuat diri kita bahagia adalah dengan memberi kebahagiaan kepada sesama. Terima kasih Bapak penertib yang entah ku tak tahu namanya. ^_^

Di malam yang semakin pekat,

@mkusmias yang lagi insomnia

2 comments:

  1. Terima kasih sudah berbagi ^^ Memang dalam hidup itu ada yg lebih penting dibanding harta dan tahta, yaitu BAHAGIA

    Berkunjung juga ya ke blog saya http://bit.ly/ayomaubertanya dan jangan lupa untuk meninggalkan jejak/komen di sana ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih mba Miftahul Falah...
      #jangan lupa bahagia .... :D ^^

      Delete