Sebab Menjadi Baik Saja Tak Cukup

, , No Comments
http://as.uinsgd.ac.id

“Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan satu negeri secara zalim, sedang penduduknya adalah penyeru kebaikan.”
Ayat yang menjadi pembuka tulisan kali ini diambil dari ayat ke-117 dalam surat Hud (surat ke-11). Jika kita mencermati ayat di atas, kita akan mendapati kata mushlihuun, bukannya shaalihuun. Nampaknya ada yang menarik untuk kita ulik tentang pilihan kata yang Allah turunkan di dalam ayat ini.

Mushlihun dan shalihuun, apa bedanya? Mushlihuun merujuk pada makna orang yang mushlih, artinya orang yang kebaikannya bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain (khairuhu linafsihi wa lighoirihi). Sedangkan shaalihuun merujuk pada makna orang yang shalih, yaitu orang yang kebaikannya bermanfaat untuk dirinya (khairuhu linafsihi).
Ada hal yang nampaknya menarik untuk kita pahami. Melalui ayat tersebut, Allah menerangkan kepada kita bahwa menjadi shalih saja ternyata belum cukup sebagai penolak adzab dari Allah. Akan tetapi eksistensi orang-orang mushlih-lah yang tok cer untuk menjadi penolak arus bala yang Allah alirkan kepada penduduk bumi yang zalim.
Keberadaan orang-orang shalih yang doanya menguntai panjang ke langit, dzikirnya menenangkan jiwa dan alam raya, dan amal shalihnya  yang menggunung pahala. Ternyata itu semua belum cukup menjadi benteng dari turunnya adzab dan bencana di dunia. Orang shalih terlalu egois untuk ‘menyelamatkan’ dirinya dari ancama dosa. Ia lupa bahwa Allah menginginkan pikirannya tak sekedar melangit. Tapi jiwanya harus down to earth, tetap turun menyentuh bumi.
Orang-orang mushlih-lah yang Allah jadikan benteng dari bala yang akan Ia turunkan kepada penduduk yang zalim. Merekalah orang-orang yang dengan keshalihannya berusaha membaikkan umat, dengan ilmunya ia pahamkan orang-orang yang bodoh terhadap agama dan dunia, dan yang dengan akhlaknya ia memberi contoh kebaikan untuk dijadikan teladan bagi orang-orang yang kehilangan pijakan. Orang-orang mushlih-lah yang dengan suaranya membangunkan orang-orang yang lelap tertidur dibuai dunia, dan untaian katanya mengingatkan para pelalai yang lupa akan tugas utama ia diciptakan.
Jika kita masih dalam sangkalan, “Ah, masa’ kalau kita sudah shalihAllah tetap turunkan bala hingga kita kecipratan adzab-Nya?”. Maka itulah pertanyaan yang sama dalam riwayat Al-Bukhari, dilontarkan Zainab binti Jahsy kepada Rasulullah suatu kali. Jawaban atas pertanyaan tersebut pun akan selalu sama dengan jawaban dari Rasulullah, “Ya, jika kemaksiatan merajalela.”
Kemaksiatan merajalela karena orang shalih yang berada di dalamnya tetap dengan sajadah panjangnya, tasbih di tangannya dan bacaan dzikir lantunannya, lalu membiarkan keburukan tetap merajalela. Agama ini sungguh tepat menurunkan tuntunan. Yakni ajaran agar manusia memperbanyak ibadah hingga pahalanya melangit, juga menyuruh keluar dari lingkaran egosentris dan bergegas mendekati umat di bumi untuk mengajak kepada kema’rufan.
Jika dalam proses menjadi mushlih dengan membaikkan lingkungan sekitar itu sungguh teramat sulit rasanya, mari kita ingat nasehat Lukman kepada anaknya, “Hai anakku, tegakkan shalat, perintahkan kebaikan, laranglah kemungkaran dan bersabarlah atas apa yang menimpamu!” (Q.S Lukman: 17). Lukman mengajarkan anaknya agar mengakhiri usaha dengan sabar.
Bukankah tugas kita hanya berkaitan dengan usaha saja? Maka bersabar adalah go ahead dengan seruan kebaikannya, lalu menyerahkan hasil kepada Allah saja. 
Sebagai pungkasnya, saya ingin memanjatkan doa sebagaimana harapan yang pernah seorang bijak haturkan, “Mudah-mudahan, Allah mengampuni dosa-dosa kita, menjadikan pikiran kita melangit dan jiwa kita membumi.”
Wallahu a’lam. 
Salam baik,
@mkusmias yang bersyukur masih ditemani orang-orang shalih yang mushlih

0 komentar:

Post a Comment