Judul: Jejak Langkah Said Tuhuleley
Penulis: Tim Penyusun
Penyunting: Agung Prihantoro
Penerbit: Yayasan Shalahuddin Laboratorium Dakwah, Jogja
Cetakan ke/Tahun terbit/Hal: 1/2015/309
“Selama rakyat masih menderita,
tidak ada kata istirahat” (Said Tuhuleley)
Kalimat pembuka pada sampul dalam buku ini sekaligus merupakan
jargon hidup tokoh yang dibahas dalam buku ini. Ialah Said Tuhuleley,
aktivis-pejuang muslim yang kiprah perjuangannya telah lama ditorehkan sejak
Orde Baru. #lamaeuy.
Namanya dikenal sebagai Bapak Pemberdayaan Kaum Duafa.
Sematan yang demikian sebab fokus perhatian Bang Said, panggilan keakraban Said
Tuhuleley, adalah menolong kaum dhuafa dan mustadh’afin agar bisa hidup wajar. Bisa
hidup wajar berarti “Meninggalkan kehidupan yang masih dalam tahapan sub-human,
alias belum cukup manusiawi”, begitu istilah Pak Amien menggambarkan garis
perjuangan Bang Said. Di buku ini, kiprah perjuangan Bang Said direkam lewat
tulisan menurut kesaksian para sahabat beliau.
Buku setebal 309 halaman ini ditulis oleh 50 tokoh yang
pernah bersahabat ataupun berjuang bersama dengan Bang Said. Buku ini saya
dapatkan sebagai bonus saat mengikuti Pengajian I’tikaf Ramadhan di Kompleks
Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta. (aseli nyesel ikut PIR di tahun 2016;
saat udah lulus dan udah back to home. Nyesel gak ikut dari dulu-dulu pas
masih aktif di Jogja. Muehehe)
Buku bersampul sketsa wajah Bang Said ini terdiri dari 8
bagian dengan total tulisan sebanyak 36 judul. Buku ini dibuka dengan sebuah
puisi panjang yang ditulis oleh Mastur Thoyib Kesi. Sejak membaca kata
pengantar yang ditulis oleh Pak Amin Rais saja saya sudah dibuat takjub dengan perjuangan
seorang Said. Tulisan selanjutnya semakin greget dipaparkan oleh tokoh-tokoh
ternama di negeri ini. Mulai dari Pak Zulfikli Halim, Abdullah Hehamahua, Anies
Baswedan, Muhammad Aiunun Nadjib (Cak Nun), Jawahir Thontowi, Haedar Nashir,
Yunahar Ilyas, Ahmad Sayafi’i Ma’arif, Muhadjir Eeffendy, Ali Gufron Mukti,
Moh. Mahfud M.D., dan lain sebagainya. Jika masih asing dengan nama-nama
tersebut, haduh, dolanmu kadoen, rek.
Huehehe...
Apa sih yang para tokoh terkenal ini tulis? Yap, sesuai
dengan judulnya “Jejak Langkah Said Tuhuleley”, buku ini berisi kumpulan
tulisan tentang biografi seorang Said dari kacamata masing-masing penulis yang
pernah bahkan akrab sampai berjuang bersama dengan Bang Said.
Bagian pertama buku ini “Menjejak dari Saparua”,
menggambarkan asal usul seorang Said. Beliau adalah santri yang berasal dari
Saparua, Maluku Tengah. Ia memiliki kakak bernama Umar. Keduanya tumbuh menjadi
seorang aktivis yang berjuang untuk kepentingan umat. Pernah dengar “nama
adalah doa”? Kedua orang tuanya sangat mengagumi sosok Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Lalu kedua anaknya dinamai Umar dan Said, dengan harapan kelak
menurunlah sifat dan karakter Pak Tjokro itu pada Umar dan Said. Jelas saja,
Umar dikenal sebagai sosok yang tegas, pandai berorasi laiknya pak Tjokro. Said
pun juga keras keteguhannya yang berjuang untuk kepentingan umat.
Pada bagian pertama ini pula, diceritakan kiprah Bang Said
dalam dunia kemahasiswaan antara tahun 1974-1984. Tahun 1977-1978 beliau
didapuk sebagai Ketua Dema IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang menjadi UNY). Pada
tahun itu, ia bersama ketua Dema se-Indonesia melakukan protes dan perlawanan
terhadap berbagai kebijakan Orde Baru yang tidak berpihak pada rakyat (hal 17).
#ini nih yang namanya mahasiswa... #eaa..
Namun keaktifan Bang Said (bersama
teman-teman seperjuangannya) dalam gerakan mahasiswa berhadiah penjara. Bang
Said ditangkap dan dipenjara tanpa proses peradilan selama 8 bulan pada tahun
1978.
“Mahasiswa adalah
pemimpin bangsa pada masa mendatang. Maka, saat duduk di bangku kuliah,
mahasiswa harus memahami dan menghayati idealisme bangsanya.” (Said
Tuhuleley, hal 18)
Selain aktif di Dema, nama Said sangat kental dengan HMI dan
Dakwah Kampus pada masa itu. Di Gang Sambu Tiga, Mrican, Said bersama
teman-temannya sering mengadakan kajian-kajian keislaman dan kajian strategis
tentang pergerakan mahasiswa dengan menghadirkan tokoh-tokoh pada waktu itu. Jika boleh diistilahkan, Sambu Tiga menjadi basis
kaderisasi HMI masa Said.
Selain aktif dalam dunia kemahasiswaan, perjuangan Bang Said
juga merambah ke dalam dunia keumatan yang lebih luas. Saat Pak Amien
mendirikan Yayasan Shalahuddin di Kaliurang KM 7 Yogyakarta, Said diajak bergabung sebagai operator kegiatan. Di
sana-lah kemudian Said terlibat dalam Laboratorium Dakwah (Labda) yang menjadi
wadah praktikum bagi santri Budi Mulia (hal 28). Pada mulanya Bang Said didapuk
sebagai menejer kegiatan. Namun karena Pak Watik Pratiknya semakin sibuk di
Pusat Pengkajian Strategis dan Kebijakan (PPSK), Bang Said ditunjuk sebagai
Direktur Labda.
Di dunia akademis pun, Said tak absen untuk ikut “bergerak”.
Saat UMY didirikan sebagai proyek langsung Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Said
diboyong untuk turut membantu di beberapa bidang, antara lain di Lembaga
Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M), menjadi komandan Divisi
Penerbitan, serta menjadi dosen tetap Fakultas Teknik. Selain itu, beliau
menjabat sebagai Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakuktas Teknik UMY.
Dulu, UMY belum begitu terkenal dan wah seperti saat sekarang. Siapa sangka kampus swasta nomor wahid
di Indonesia ini dulunya (pada tahun 1984) hanya terdiri dari dua bangunan
kecil sebelahan dengan lapangan sepak bola? Bahkan ruang kuliahnya masih menumpang
di SPG dan STM Muhammadiyah.
“Pelajaran penting
dari kemajuan UMY yang Said Tuhuleley turut andil ini adalah keberannian untuk
bermpimpi dan kesiapan untuk bekerja tekun, cerdas dan ulet. Itulah kunci bagi
kemajuan lembara umat.” (Pak Amien Rais, hal 31)
Di dalam persyarikatan, lagi-lagi, oleh Pak Amien, Said
dimasukkan dalam kepengurusan Majelis Tabligh-nya Muhammadiyah. Sebelumnya,
Majelis Tabligh dipandang sebelah mata karena tak segemerlap seperti Majelis
Pendidikan dan Majelis PKU. Namun, setelah Bang Said masuk sebagai penggerak
Pelatihan Peta Dakwah sebagai pendekatan dan model dakwah, Majelis Tabligh
masuk dalam jajaran “majelis papan atas”. #Pak Amien tak salah pilih orang
Pernah dengar gerakan reformasi tahun 1998, kan? Yap,
gerakan suksesi kepemimpinan yang digawangi oleh Pak Amien Rais itu, awalnya
hanya segelintir orang yang mendukung. Said termasuk ke dalam yang segelintir
itu. Said yang mantan aktivis 77/78 dan pernah mendekam dalam jeruji besi
selama 8 bulang itu, menjadi laden setia
di sisi Amien Rais yang menggaungkan azan suksesi untuk menumbangkan rezim Orde
Baru yang dinilai diktatoris.
Meskipun Bang Said berada dalam pasukan reformis kala itu, tapi pada akhirnya beliau tidak bermain sebagai pelaku politik. Bang Said
justru lebih dalam “mengabdikan diri” di Persyarikatan Muhammadiyah. Kiprah
pengabdiannya kepada umat di Majelis Pemberdayaan Muhammadiyah (MPM) menjadi
bentuk pengabdiannya yang paling monumental. Di MPM inilah slogan “Selama
rakyat masih menderita tidak ada kata istirahat” dan Surat Al-Ma’un
diejawantahkan secara nyata. Bahkan disebut-sebut sebagai slogan pembebasan dan spirit
Al-Ma’un.
Di bagian ini, saya mulai tersadar, Islam bukanlah ajaran yang menyuruh
umatnya hanya untuk bernyaman-nyaman di atas sajadahnya, merayu Tuhan untuk dihadiahi
surga sendirian. Sedangkan di kanan-kirinya, ada banyak orang yang tak tahu
tujuan ia dihidupkan. Jangankan tujuan hidup, untuk hidup saja masih kesulitan.
Di situlah, semestinya kita mengajak dan menunjukkan orang lain untuk mengenal Islam yang
betul-betul rahmatan lil ‘alamin; Islam yang betul-betul membawa rahmat bagi
seluruh alam. Rahmat Islam yang bisa dirasakan. Bukan sekedar yang dikoar-koarkan (saja). Lha bagaimana mereka
ini -yang berada di golongan bawah- bisa percaya bahwa Islam rahmat bagi
seluruh alam -termasuk rahmat bagi mereka-, sedangkan perut mereka terus merongrong kelaparan? Bagaimana pula mereka ini saat
didakwahi bisa percaya surga-neraka, sedangkan untuk sekedar makan saja terkadang mereka tak punya?
“Dunia tani, buruh,
nelayan, abang becak, dan kaum duafa-mustdh’afin melekat dan menyatu dalam dirinya
(Said).” (Haedar Nashir, hal 135)
Melalui pemberdayaan masyarakat, Bang Said mengajarkan kita
untuk memahami akar rumput dengan baik. Bahwa, pendidikan harus tinggi, tapi
jangan sampai melupakan akar rumput. Bang Said bahkan sempat diangkat di harian
Kompas sebagai sosok aktivis pengembangan masyarakat yang kritis dan advokatif.
Karena kompetensi di bidang pemberdayaan inilah, saya dan teman-teman sempat mengajak
berdiskusi dan menggali ilmu pada beliau saat membuat konsep KKN Program
Pemberdayaan Masyarakat tahun 2013-2014 untuk dilaksanakan di Papua Barat. (#niat
banget ngelaksanain KKN.)
Kerja Said bersama pasukan MPM menjadi pilar baru dalam
sejarah amal usaha Muhammadiyah. Pemberdayaan masyarakat kini tegak sebagai
pilar baru dalam dinamika persyarikatan melengkapi pilar pendidikan, dan pilar
kesehatan.
Said kecil (kiri atas) bersama keluarga |
Namun, di balik kerja kerasnya sebagai pejuang umat, ada bibit
penyakit ginjal dan diabetes yang bersemayam di dalam raga beliau, selain
penyakit jantung yang ia derita. Setelah berobat di Rumah Sakit Holistik
Haryoko di Salatiga dan dinyatakan sembuh dari penyakit jantung, pada 9 Juni
2015 Bang Said mengalami keadaan kritis. Pada tanggal 10 Juni 2015 menjadi “duka
sedalam cinta” bagi seluruh umat yang mengenal beliau. Hari itu adalah hari terakhir
Bang Said menghembuskan nafas.
Said Tuhuleley hadir di Pesantren Budi Mulia, di Universitas
Muhammadiyah, di majelis-majelis Persyarikatan, di KAHMI serta di berbagai
lembaga keumatan, dan ia selalu membawa aura ukhuwah yang menebar amal
kebajikan. Pantaslah kepergiannya membawa duka yang menikam semuanya. Tak heran
bila beliau dikebumikan dan makamnya diapit oleh dua pusara pendiri organisasi
umat Islam; K.H Ahmad Dahlan dan A.R.
Fachruddin. Keduanya adalah tokoh Muhammdiyah yang diteladani oleh Bang Said.
--
Meskipun buku ini terbagi menjadi 8 bab, tapi setiap judul
memiliki inti cerita yang hampir sama; kiprah perjuangan Bang Said menurut kaca
mata penulis. Tak heran bila beberapa hal terkesan diceritakan secara berulang.
Namun, buku ini tetap ciamik dengan gaya bahasa para cendekiawan dalam
menggambarkan pemikiran, sepak terjang, dan pribadi Bang Said secara lengkap
dari pusparagam perspektif.
Di bab terakhir buku ini menampilkan foto-foto Bang Said
dalam banyak momen; saat di depan Gedung Parlemen Inggris, menerima
penganugerahan gelar doktor honoris causa, saat terjun langsung untuk
memberdayakan masyarakat lemah, foto Bang Said bersama santri Budi Mulia, foto
Bang Said bersama M. Natsir –tokoh yang ia kagumi-, markas Sambu Tiga Mrican,
hingga saat terjun bersama para demonstran 1979.
Khatam membaca buku ini menjadikan pembaca paham kenapa
sosok seorang Said terasa sangat perlu untuk direkam dalam Jejak Langkah ini. Buku
ini sangat disarankan kepada mereka kaum mahasiswa (yang katanya mahasibuk)
atau pemuda yang agar kesibukannya mendekat pada umat. Keshalihannya bisa
menshalihkan orang banyak. Dan kecerdasannya mencerdaskan banyak kalangan.
Membaca buku ini berarti mengenang, meneladani, meneruskan,
dan mengobarkan perjuangan yang telah tercetak tebal dalam sejarah gerakan
mahasiswa, pemetaan dakwah Islam, reformasi pendidikan, dan pemeberdayaan
masyarakat lemah.
Jadi, boleh banget kamu tambahkan buku bacaan semacam ini, agar
yang dikenal bukan hanya tentang cinta-aku suda dia-dan kapan menikah (melulu).
#huehuehue. Sebab, hidup tak hanya sekedar tentang bunga dan kupu-kupu. Banyak
orang bijak bilang, hidup itu tentang bagaimana bisa bermanfaat. Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat, bukan?
Salam baik,
@mkusmias yang sedang belajar bermanfaat
0 komentar:
Post a Comment