Sekuler Tanpa Sadar

, , No Comments


ilustrasi

Ada sebuah kekata yang berbunyi, “Penulis itu pekerjaan setiap saat. Saat ia tak menulis di atas lembaran putih, saat itu pula ia sedang menulis manusia.” Menulis manusia berarti mendidik manusia, mengajari manusia, sehingga di dalam manusia didikannya itu tertanam nilai-nilai yang telah diajarkan oleh sang ‘penulis’. Karena sungguh, menulis di atas lembaran putih ataupun menulis manusia sama-sama penting. Sekali lagi, PENTING!

Ngomong-ngomong soal menulis manusia atau mendidik manusia, saya inget kisah ini. Di salah satu kesempatan saya mengajar, ada salah satu siswa berkomentar, “Us, itu gak penting dihapalin, Us. Gak ditanya malaikat kok nanti.” Kira-kira begitu tanggapan siswa berpostur agak gemuk bernama,,, sebut saja Jaguar, bukan nama sebenarnya. :D. Saat itu saya mengajar Biologi Bab Klasifikasi Makhluk Hidup. Yah, namanya juga klasifikasi, pastinya nyebutin nama-nama ilmiah tanaman dan hewan, yang nama-namanya bikin lidah sering kepleset saking susahnya disebutin. (Xixixi). Saya bertanya-tanya, kok bisa ya anak-anak masih berfikir seperti itu, apalagi beberapa temen-temennya meng-iya-kan perkataan Jaguar, "iya Us... gak penting kok." Saya berasumsi, kecil kemungkinan  anak-anak ini bisa berfikir seperti itu 'sendiri'. Tentu buah pikiran seperti itu bisa jadi berasal dari pola pikir keluarga, atau bahkan sistem yang berada di sekolah tempat mereka menimba ilmu? Karena, sistem entah di keluarga ataupun sekolah pasti akan melahirkan minded yang akan diikuti. Lalu saya bertanya-tanya, adakah yang salah dari pola pikir bawaan keluarga, atau mind set dari sekolah?

ilustrasi

Dalam hati sebenernya mau nimpalin, “ya keles kayak gitu ditanyain malaikat di alam barzah ntar . kaga ade ceritanya nak...”. Untung ane masih sadar kalau ane disebut guru di kelas itu. Jadinya masih inget kudu bilang, “iya sholih, malaikat ntar gak nanya kamu Homo sapiens atau bukan. Tapi dari sini kita kudu bisa berfikir, dari Ilmu Biologi yang sekarang kita pelajari ini bisa mengenal Allah apa engga? Trus, kita bisa manfaatin apa dari belajar Biologi? Jadi ilmu dunia itu juga perlu dipelajari ya sholih, agar bisa diambil manfaatnya. Kalau ntar jadi peneliti kan bagus kalau bisa jadi peneliti yang selain pinter tapi juga hafidz. Kalau ntar jadi dokter, kan bagus kalau dokternya selain pinter juga sholih. Insyaa Allah malah jadi sarana ber?? Ber apa? Berdakwah.... Kalau di tempat kita banyak dokter yang hafidz, banyak insinyur yang dekat sama Allah, akuntan yang sholih, ujung-ujungnya siapa yang diuntungkan? Kan kita sendiri.”

Oke, ngomong-ngomong soal sekolah, sekarang alhamdulillah sudah banyak berdiri sekolah-sekolah Islam Terpadu, sering disingkat ITe. Sekolah IT bisa jadi adalah sebuah alternatif kalau kita ragu memasukkan anak-anak ke sekolah negeri, kalau kita mengkhawatirkan asupan keagamaan di sekolah negeri yang masih minim. Atau jika beranggapan bahwa sekolah negeri lebih banyak mengadopsi sistem sekolah sekuler. Sekolah IT memang seharusnya menjadi alternatif. Dan seharusnya kita memang kudu berbangga karena sekolah-sekolah IT semakin menjamur di negeri ini. Itu artinya, banyak kaum muslimin yang semakin bersemangat untuk menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai dan kultur keagamaan melalui sekolah formal. Bahasa Muhammadiyyah-nya; berkemajuan.

Tapi sangat disayangkan, jika niatan itu terkesan setengah-setengah, belum sepenuh hati. Misalnya fenomena anak yang masih berfikir seperti penggalan kisah saya saat mengajar seperti di atas. Nampaknya masih ada yang perlu dikoreksi dari sistem sekolah IT. Yeah, may be,....

Jika ‘keberatan’ dengan sistem sekolah negeri yang dinilai sekuler, karena memisahkan nilai-nilai agama dengan ilmu pengetahuan umum, seharusnya sekolah IT memang benar-benar menjadi alternatif sekolah yang tidak terkesan seperti sekolah sekuler. Toh ‘Islam Terpadu’ yang disematkan dibelakang nama sekolah itu sendiri bermakna menyatu-padukan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum agar diilmui secara menyatu, berkesinambungan, berkaitan, tidak terpisah-pisah, dan tidak sekuler.

Saya khawatir, jika pada prakteknya, kita sebagai orang tua ataupun guru, masih menganggap ilmu pengetahuan umum itu tidak penting lalu berkata kepada anak-anak atau murid-murid kita, ‘anak-anak, ilmu umum gak usah diseriusin gak papa, itu gak penting, nanti gak ditanya malaikat di alam kubur. Yang penting bisa baca dan hafal qur’an aja.” Mmmm.... Selain sedih jika masih ada yang bertutur begitu, saya juga khawatir. Tentu saya sedih, seolah saya jadi ciut, karena basik saya di bidang ilmu eksak. Gelar saya bukan Sarjana Agama. Pun saya khawatir, jangan-jangan kita belum sepenuh hati membangun sekolah dengan label Islam Terpadu. Saya juga khawatir, selama ini kita sering menilai sekolah negeri itu sekuler, jangan-jangan kita sendiri juga bisa dinilai sekuler tanpa sadar, karena menganggap ilmu pengetahuan umum tak penting dipelajari dan tidak ada manfaatnya untuk Islam, atau setidaknya memandang sebelah mata ilmu pengetahuan umum sehingga terkesan masih memberi sekat antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Bukankah itu sama-sama sekuler? Sama-sama memisahkan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Lalu, untuk apa ikut ‘latah’ bahu membahu mensukseskan sekolah islam terpadu jika tak konsisten antara nama dan tujuan? untuk apa? :) #kalem

Sebagai orang tua ataupun guru yang baik pasti setuju bahwa semua ilmu itu bisa bermanfaat. Jika saat ini belum banyak yang menyuarakan dan membuktikan manfaat ilmu pengetahuan umum untuk islam, bukan berarti tidak ada manfaatnya. Mungkin kita sendiri sebagai orang tua ataupun guru belum berhasil menjelaskan dan memahamkan anak bahwa semua ilmu itu sama-sama penting dan memiliki banyak manfaat. Ilmu dunia penting dicari, sedangkan ilmu agama penting dipelajari. Karena pada hakikatnya, ilmu itu milik Allah. Sedangkan peran kita adalah mempelajari dan memanfaatkan ilmu yang kita miliki semampu yang kita bisa. Bukan begitu?

Ibarat pisau, ilmu itu tergantung siapa pemiliknya, bukan? Jika pemiliknya adalah good person tentu pisau itu akan menjadi manfaat yang berlimpah, at least buat ngrajang bawang di dapur. Sebaliknya, jika pemiliknya seorang preman, tentu pisau akan dipakai untuk berbuat kejahatan, minimal buat malak. Hehe.

Jadi, jika kita adalah pihak yang ingin memberikan alternatif pendidikan berupa sekolah IT alias Islam Terpadu, maka sebaiknya kita mengembalikan makna IT itu sebagaimana khitohnya. Tidak mendiskreditkan ilmu pengetahuan umum, pun juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Toh saya yakin, kita semua sedang mengusahakan yang terbaik untuk agama yang mulia ini dan untuk generasi penerus kita di negeri ini. Meski kadang kita sering lupa main purpose yang kita perjuangkan. Bukankah kita kudu saling mengingatkan? :) Anggap saja dengan ini saya sedang bercermin karena toh kenyataannya saat ini saya juga terlibat di dalam instansi pendidikan berbasis islam terpadu itu. Juga, anggap saja cermin yang saya pakai itu adalah cermin yang lebar binggo alias gede banget, bisa dipakai nyermin berjama’ah. Anggap saja saya juga sedang mengingatkan kembali khitoh pendidikan untuk muslim yang ideal, meski saya belum begitu expert bidang pendidikan. Ini sebatas yang baru bisa saya pikirkan dan ketahui. So, jangan takut jika ada yang mengoreksi. Semua akan baik-baik saja jika masing-masing niatnya memang untuk menjadi lebih baik.

The last, saya ingat betul yang disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “pendidikan tidak hanya mencetak orang-orang baik. Lebih tinggi lagi, pendidikan mencetak orang baik yang memiliki ilmu pengetahuan. Dengan ilmunya bisa bermanfaat untuk agama maupun untuk orang lain.”

Wallahu a'lam.

al-faqir ilallah,
@mkusmias dengan teh hangatnya




0 komentar:

Post a Comment